25 Feb 2010

Pinggan Panungkunan

Pinggan Panungkunan = Pinggan Pasu = marisihon Boras – Napuran – Hepeng –Tanggo-tanggo ni juhut.

Lapatanna : Pinggan Panungkunan = Pinggan Pasu = Pinggan na bontar ndang marbunga dohot pangantusion : Haiason ni roha, pingkiran dohot pambahenan laho mangido pasu-pasu = pangoloion ni horong Hula-Hula di pangidoanniba
Pinggan Panungkunan nariong-riong jala Pinggan Pasu na hot dihundulanna dohot pangidoan tu Tuhanta Pardenggan BasaI, asa sai hot ma masumasu disude ngolunta.

Boras = Boras si Pir ni Tondi = Parbue siribur-ribur = sakkambona do Emei alai godang/ribur parbuena = sada ripe pe jolmai sai godang maribur ma angka pomparanna = songon pir ni borasi = tung aha pe namasa las ni roha arsak pe pujionhu Ho Nabasa asa dibagasan unduk dohot serep ni roha tongtong laho mandalani parngoluoni. Pir ma pongki bahul-bahul pansalongan, pir ma Tondi sai ditambai Tuhanta dope di hamu angka pansamotan.

Napuran = Sirata Bulung = (godangna ganjil = 5 manang 7 bulung) = hasiholan ni Inanta Soripada = molo ro tamue mandapothon iba sai parjolo do Inanta parjabui mameakhon Hajut Paranapuranan tu jolo ni Tamuei = Marnapuran do angka Ina ni Batak = rata-rata do bulung ni napurani jala andorna/bonana sai manjiriri songoni ma nang pangidoanna asa sai tongtong rata angka parngoluon ni hita jala ndang marnaloja manjiriri/mandiori sinamot bahen hangoluani.
Napuran tano-tano, ranging masiranggongan, Badanta padao-dao, Tondinta masigonggoman
Hepeng = Ringgit (najolo) = Ringgit sitio soara = patuduhon sinadongan ni Paranak maradophon Hula-Hulana = Ringgit meam-meam ni Boru ni Raja = Boru na sai hot manghunti – pajingjing hula-hula sude do nasida Boru namamora na so gulut di hepeng anggo mambahen na denggan tu hula-hulana.

Tanggo-Tanggo = Juhut napinangan di ulaoni = Butong mangan indahan nalas mahap marlompan juhut nataboi ima taragu ni Boru songoni minum aek sitiotio sai pamurnas ma tu daging saudara tu bohi, songon bagot namarhalto naniagatan ni paronan, horas ma namanganhon lam tu gandana ma singkatnii di hamu namangalean.

udutna......

MAKNA DARI IBADAH MINGGU DI GEREJA HKBP

St. Hotman Ch. Siahaan

Pendahuluan
HKBP merupakan bagian dari persekutuan Gereja Lutheran sedunia. Namun jika kita melihat tata letak altar dan bangku-bangku di dalam gereja kita, pada umumnya tidak menggambarkan pemahaman gereja Lutheran. Umumnya tata letak altar gereja kita mengadopsi tata letak gereja Calvinis, dimana mimbar pemberitaan firman Allah berada di tengah-tengah altar; dan berada di posisi yang tinggi.

Gereja Lutheran menempatkan mimbar pemberitaan firman di sebelah kiri altar sebagaimana terlihat di gereja HKBP Menteng, jalan Jambu 46, Jakarta. (HKBP Petojo pun telah merubah posisi pemberitaan itu. Dulunya mereka menempatkan mimbar itu seperti biasanya di tengah. HKBP Balige pun menempatkan mimbar di sisi sebelah kiri, namun menjulang tinggi.) Memang pemahaman kita tentang tata letak itu tidak seragam. Banyak orang yang menjadi arsitek pembangunan gedung gereja bukanlah seorang teolog. Mereka awam tentang hal tata letak, sehingga pertimbangan mereka hanyalah nilai estetika dan pertimbangan lainnya, tanpa didasari pandangan teologis. Banyak anggota jemaat yang tidak mengerti maknanya. Bahkan para pekerja pun banyak yang tidak mengerti. Saya sering mempertanyakan makna dari kembang yang ditaruh di atas meja di altar ! Umumnya alasan orang untuk menaruh kembang di sana hanyalah untuk estetika semata-mata. Pada hal bukanlah demikian menurut hemat saya secara pribadi. GPIB menyalakan lilin di meja tersebut, tentu ada makna dari lilin itu. HKBP umumnya menempatkan bunga. Apa makna bunga itu ? Kita menyalakan lilin di sana pada minggu Advent, ada maknanya. Kita pun menutup benda-benda di altar itu dengan kain berwarna tertentu, itu pun ada maknanya. Sekali lagi apa makna kembang tersebut ?
Bilamana kita memasuki gedung gereja itu (jemaat yang menyusun tata letaknya seperti pengajaran Gereja Lutheran) maka dapat kita katakan ruang gereja itu dapat dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama ialah bagian tempat duduk untuk anggota jemaat, yaitu bangku-bangku yang berjejer di dalam gedung. Saya memahami bagian pertama ini sebagai bagian ‘wilayah dunia.’ Itulah yang diajarkan kepada kami pada waktu masih belajar sebagai calon sintua. Sementara bagian kedua ialah ‘altar.’ Adapun altar itu dipahami Gereja kita sebagai ‘wilayah kudus.’ Bagian kedua ini diartikan sebagai ‘wilayah surgawi.’ Oleh karena itu pula, bagi kita, altar itu pun kudus adanya.
Di tengah-tengah altar itu, ada sebuah peti empat persegi panjang, persis di bawah salib yang melekat ke tembok. Peti yang berukir dengan sangat indah itu, dipahami ‘sebagai meja makan Tuhan.’ Mengapa peti itu disebut meja makan Tuhan? Peti itu disebut demikian, karena di atas meja itu diletakkan roti dan anggur perjamuan. Menurut hemat saya, persembahan yang kita persembahkan kepada Tuhan, seyogianya ditaruh di atas meja makan Tuhan. Persembahan itu adalah sesuatu yang kudus, sehingga di sanalah tempat yang paling pas. Bukan seperti sekarang ditaruh di luar wilayah surgawi, di luar ‘altar.’ Meja makan adalah wilayah yang paling dalam dari satu rumah, hanya anggota keluarga yang duduk di sana. Meja makan itu semacam ‘inner chamber’ di dalam satu rumah. Alangkah indahnya, jika kita diundang untuk menghadiri upacara makan bersama di sekitar meja makan Tuhan pada acara perjamuan kudus. Sayang, sekarang ini hal praktis telah menggeser makna datang kepada Tuhan dalam perjamuan kudus, sehingga saya tidak lagi datang mendekat ke meja makan Tuhan dalam perjamuan kudus.
Di sebelah kiri kita, di sisi meja makan Tuhan, ada bejana tempat penyimpanan air untuk babtisan kudus. Martin Luther mengatakan bahwa babtisan adalah juga kabar baik – Injil – bagi kita. Itulah sebabnya posisinya sejajar dengan podium di sisi kanan, tempat Injil secara verbal diberitakan. Jadi Injil diberikan kepada kita melalui firman dan sakramen. Saya kuatir, orang datang ke kebaktian Minggu, tanpa mencoba merenungkan makna dari tata letak dari benda-benda yang ada di dalam ruangan Gereja tersebut. Saya takut, kita telah kehilangan makna dari tata letak dalam ibadah kita.
Di antara kabar baik menurut sakramen, dan kabar baik menurut firman, dekat dengan meja makan Tuhan, berdirilah seorang perantara, antara ‘wilayah ilahi’ dengan ‘wilayah dunia’. Kita melihat secara kasat mata, seorang sintua berdiri di sana. Tetapi pada hakekatnya, secara iman, dia yang berdiri itu adalah Tuhan Yesus Kristus. Sebab hanya Dia yang dapat mengantarai manusia dengan Allah. Dialah satu-satunya perantara manusia dengan Allah. Jadi sintua yang berdiri di altar itu adalah representasi dari Kristus. Oleh karena itu, betapa pentingnya sintua yang ‘maragenda’ itu sadar, betapa kudusnya tugasnya memimpin ibadah minggu tersebut. Ia berdiri di sana atas nama Tuhan, untuk memimpin ibadah perjumpaan antara jemaat dengan Allahnya. Ibadah minggu kita adalah ibadah perjumpaan dengan Allah. Kita tahu tidak ada manusia yang dapat mempertemukan Allah dengan manusia kecuali Tuhan Yesus Kristus. Jadi jelas, tugas sintua ‘maragenda’ adalah mempertemukan Allah dengan manusia di dalam ibadah minggu itu.
Dari tata letak ‘meja makan Tuhan’ dengan bangku-bangku, kita lihat jaraknya cukup jauh. Memang jarak antara Allah yang kudus dengan manusia yang berdosa cukup jauh pula. Jarak surga dan dunia juga cukup jauh. Itulah sebabnya dibutuhkan seorang perantara, agar dimungkinkan pertemuan dan terjadi komunikasi di dalam pertemuan itu. Ketika Tuhan Yesus berdiri di altar tersebut, di dalam diri sintua yang menjadi liturgis, maka manusia yang duduk di bangku-bangku itu pun dapat mengadakan komunikasi dengan wilayah surgawi, yaitu ‘altar.’ Sekarang yang menjadi pertanyaan ialah : apakah sintua yang bertugas sebagai liturgis itu menyadari makna dari tugasnya tersebut ? Kesan saya, mudah-mudahan saya salah, teman-teman sintua tidak menyadari hal itu. Mereka sering saya lihat bertindak sebagai ‘master of ceremony’ di dalam kebaktian tersebut. Bahkan ada yang tidak siap, hal itu terlihat dari tidak ikutnya sintua itu menyanyikan lagu nyanyian jemaat. Jika kita bertitik tolak dari pemahaman bahwa sintua yang menjadi liturgis itu adalah wakil Kristus di dalam memimpin jemaat, maka jika ia salah di dalam memimpin liturgi, maka dapatlah kita katakan Kristus juga salah! Apakah kita sadar akan hal itu? Marilah kita merenungkan hal itu di dalam lubuk hati kita yang paling dalam.
Kita datang ke Gereja pada hari Minggu, bukan hanya untuk mendengarkan firman Allah. Jika kita datang hanya untuk mendengarkan firman Allah, hal itu dapat kita lakukan di dalam rumah. Kita datang ke Gereja dan beribadah untuk berjumpa dengan Tuhan yang bangkit. Di dalam ibadah minggu itu, kita merefleksikan ibadah yang diselenggarakan oleh para malaikat di Surga. Di dalam ‘Doa Bapa Kami’, Tuhan Yesus mengajarkan kepada kita agar kita berdoa: ”Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga”. Menurut kitab Wahyu pasal 4 dan 5, ada kebaktian di Surga dilihat oleh Rasul Yohanes. Ibadah di Surga itu memusatkan penyembahannya pada Dia yang duduk di tahta itu dan Dia yang berdiri di tangah-tengah tahta itu, Anak Domba seperti telah disembelih, yaitu Yesus Kristus sendiri dengan segala karya-Nya. Jadi inti sari dari ibadah Kristen menurut hemat saya ialah: penyembahan kepada Allah dengan meninggikan karya Yesus Kristus. Kristus adalah pusat dari ibadah Kristen. Berbeda dengan ibadah kharismatik, yang menonjolkan Roh Kudus dengan karunia-karunia-Nya, ibadah HKBP merefleksikan ibadah surgawi yang dilaporkan kitab Wahyu.
Menurut DR. A A. Sitompul dalam bukunya mengenai tata ibadah, beliau mengatakan bahwa ada ibadah di tiga tempat. Ibadah yang pertama diadakan di Surga, sebagaimana dilaporkan oleh kitab Wahyu. Ibadah kedua ada di Bumi, maksudnya di dalam ibadah minggu yang kita lakukan. Ibadah yang ketiga ada di dalam hati kita. Ketiga-tiganya haruslah berada di dalam satu ikatan yang harmonis, seperti ‘cord’ di dalam irama musik. Surga mengambil nada ‘do’, sementara kebaktian minggu kita mengambil nada ’mi’, dan yang terakhir, di hati kita mengambil nada ‘sol’. Setelah itu ketiganya sama-sama menyanyikan pujian kepada sang Bapa, Anak dan Roh Kudus! Bila nada yang mereka nyanyikan tidak pas, maka akan terasa nyanyian itu fals.
Banyak orang mengatakan bahwa ibadah HKBP monoton, tanpa lebih dahulu menggali makna dari ibadah itu sendiri. Ibadah kharismatik, yang sangat populer sekarang ini, bahkan di dalam hati warga HKBP, menurut hemat saya, sangat bersifat ekspresif. Hal yang sangat ditonjolkan di dalam ibadah itu adalah perasaan manusia. Saya tidak melihat apa yang mereka refleksikan melalui ibadah itu! Karya Allahlah yang harus direfleksikan di dalam ibadah, lalu manusia memberikan respons terhadap karya itu melalui penyembahannya. Subyek yang paling dominan di dalam ibadah itu ialah Allah. Itulah yang direfleksikan ibadah HKBP menurut penghayatan saya. Tempat kita berpijak sangat berbeda dengan kebaktian kharismatik.
Sebelum kebaktian dimulai, biasanya parhalado berkumpul lebih dahulu di konsistori. Pada hakekatnya bukanlah para petugas yang dijadwal pada hari itu yang harus hadir di dalam konsistori, melainkan seluruh anggota parhalado yang datang ke dalam kebaktian tersebut. Sebab parhalado adalah satu ‘corps,’ mereka bertanggung jawab atas pelaksanaan kebaktian tersebut. Jadi sekalipun saya tidak bertugas pada hari itu, saya wajib masuk ke konsistori, minimal untuk mendoakan mereka yang bertugas pada hari itu. Itulah wujud dari tanggung jawab saya kepada Allah, yang telah memanggil saya menjadi pelayan-Nya di jemaat tersebut. Sekaligus itu adalah wujud dari tanggung jawab saya kepada ‘corps parhalado’. Sangat disayangkan, banyak juga teman-teman sintua yang tidak menyadari hal itu.
Di konsistori itu kita memeriksa seluruh acara yang akan kita selenggarakan, tentang kelayakannya. Kemudian acara yang sudah kita periksa itu kita bawakan ke hadiran Allah di dalam doa. Semua acara dari permulaan hinga akhir disampaikan di dalam doa, seolah-olah kita mengatakan kepada Allah, inilah yang akan kami lakukan di hadapan-Mu. Segala sesuatu yang tidak didoakan di dalam konsistori, seyogianya tidak dapat dilakukan di dalam ibadah. Kecuali warta yang sangat mendesak. Namun sangat disayangkan, sering kali kita melihat ada acara tambahan disampaikan kepada liturgis di tengah-tengah kebaktian. Sering kita melihat koor menyanyi sampai dua kali, pada hal di dalam daftar acara hanya satu kali.
Setelah parhalado berdoa, maka lonceng Gereja dibunyikan. Suatu pertanda bahwa seorang Raja segala raja dan Tuhan segala Tuan akan memasuki tempat ibadah. Anggota jemaat pun memberi respons terhadap bunyi lonceng itu dengan menaikkan doa-doa pribadinya ke hadirat Allah. Maka parhalado pun memasuki ruangan. Ibadah siap dilaksanakan.





Acara Kebaktian

1. Jemaat Menyanyi
Kebaktian dimulai dengan jemaat menyanyi. Biasanya nyanyian yang dipilih untuk minggu itu disesuaikan dengan nama minggu di dalam Almanak HKBP. Seperti kita ketahui kalender gerejawi tersusun atas dasar minggu, sebanyak 52 minggu dalam satu tahun. Bukan disusun dalam bulan seperti yang kita kenal bersama. Pertanyaan sekarang diajukan kepada kita, mengapa kita menyanyi? Pemahaman gereja kita tentang nyanyian, adalah sebagai respons terhadap apa yang diucapkan Allah dari altar-Nya. Ibadah minggu yang diselenggarakan bentuknya ialah responsoria. Respons kita kepada Allah di dalam ibadah itu ialah dengan jalan menyanyi dan berdoa. Jadi apa yang kita mau ungkapkan di dalam acara pertama di kebaktian itu? Jawaban untuk itu menurut hemat saya adalah : komunikasi telah dimungkinkan antara kita dengan Allah. Sebab seorang perantara telah berdiri di altar. Sekarang saya dimungkinkan untuk berkomunikasi dengan Allah. Tanpa kehadiran seorang perantara, maka mustahillah bagi saya untuk berbicara kepada Allah di dalam kebaktian tersebut. Jadi nyanyian itu adalah sebuah respons terhadap kehadiran Allah di dalam kebaktian itu.

2. Votum/Introitus/Haleluya/Doa
Apakah makna votum? Maknanya menurut hemat saya adalah peresmian. Dengan votum itu, kita percaya Allah hadir di dalam acara tersebut. Ketika Allah mengatakan “jadilah terang,” maka terang itu pun jadi. Seperti itu makna dari votum. Dengan diucapkan oleh liturgis, “Di dalam nama Allah Bapa, dan di dalam nama Anak-Nya Yesus Kristus, dan di dalam nama Roh Kudus yang menciptakan langit dan bumi” maka Allah secara nyata, hadir di dalam ibadah itu. Kehadiran dari Allah Tritunggal itu sekaligus menjadi dasar dari perjumpaan tersebut. Jadi jelas bukan karena marga, atau adat, maka ibadah itu dilakukan. Bukan juga karena nenek moyang, bukan karena latar belakang ekonomi, sosial, budaya, politik, namun karena nama Allah semata-mata. Allah itu adalah Bapa kita, di dalam ibadah itu Ia menerima anak-anak-Nya. Ia adalah Bapa yang memelihara kehidupan kita. Yesus sebagai Anak, adalah saudara yang menyelamatkan kita dari keberdosaan kita, Dia adalah ‘Penolong’ yang memanggil, menyertai dan menguduskan Gereja-Nya.
Untuk merefleksikan semua yang telah dikerjakan-Nya itu, kita berkumpul agar dapat berjumpa dengan Dia. Di dalam perjumpaan itu, Ia mengutarakan isi hati-Nya kepada kita melalui firman dan sakramen. Sementara itu kita mengutarakan isi hati kita melalui nyanyian dan doa. Banyak orang tidak mengerti bahwa makna ibadah kita seperti itu, sehingga mereka mengatakan ibadah kita itu monoton, pada hal mereka tidak memahaminya. Seandainya ia mengikuti dengan pengertian seperti yang kita utarakan di atas, apa ia masih mengatakan ibadah kita itu monoton? Di samping makna votum seperti yang sudah kita utarakan di atas, maka kita juga dapat mengatakan bahwa dengan hadirnya Allah yang kudus di dalam ibadah itu, maka orang yang hadir di dalam ibadah itu pun dikuduskan oleh Allah yang kudus. Oleh karena itu orang pada hakekatnya diharapkan untuk tidak datang terlambat, sebab ia tidak akan turut dikuduskan melalui votum tadi. Namun kenyataannya, banyak orang yang terlambat datang! Pertanyaan sekarang ialah: apakah mereka yang terlambat itu turut dikuduskan atau tidak? Jawabannya bisa ya, bisa juga tidak. Hal itu tergantung orang yang terlambat tadi. Jika ia mengakui kesalahannya itu di hadapan Allah, maka ia turut dikuduskan. Jika tidak diakui, maka ia tidak turut dikuduskan.
Setelah votum itu, acara berikutnya ialah introitus. Allah mengatakan isi hati-Nya melalui firman yang sesuai dengan nama minggu itu. Sementara nama-nama minggu itu adalah refleksi dari karya Kristus, dari sejak awal sampai akhir. Seperti yang sudah kita katakan di atas, kebaktian kita bersifat reflektif, maka dari sejak awal, Allah telah menyatakan isi hati-Nya kepada kita melalui introitus tadi. Nas itulah yang akan membimbing kita di dalam minggu yang akan kita jalani. Ayat itu adalah ayat yang diperuntukkan bagi kita. Sebagai respons kita atas firman itu, maka kita menyanyikan haleluya tiga kali. Seyogianya kita menyanyikannya dengan sukacita. Namun kita lihat kenyataan di dalam jemaat kita, seringkali haleluya itu kita nyanyikan dengan lamban. Pendeta Pakpahan, dalam uraiannya mengenai ibadah minggu, mengatakan bahwa seharusnya kita menyanyikan haleluya itu dengan cepat. Argumen yang diajukan pendeta Pakpahan ialah : layaknya seperti orang yang meneriakkan’ api…api…api…’ pastilah kita meneriakkannya dengan cepat dan penuh dengan emosi. Haleluya itu adalah ungkapan sukacita karena Allah telah berfirman kepada kita, pada hal Allah belum mempersoalkan dosa kita.
Setelah haleluya, kita mendengar perantara itu menaikkan doa. Sebagai perantara, maka dia berada di dalam dua sisi. Sisi yang pertama, di sisi ilahi dan sisi kedua di sisi manusia. Ketika ia mengutarakan votum, maka dia berada di sisi Allah. Ketika dia mengutarakan doa, maka itu adalah doa manusia, maka dia berada di sisi manusia. Ada orang mengatakan bahwa di Gereja Anglikan, liturgis itu ketika ia mengutarakan votum, maka ia berdiri di altar, tapi pada saat ia menaikkan doa, ia berpindah dari altar ke arah jemaat, dan berbalik menghadap altar untuk menaikkan doa tersebut. Dari sana sangat jelas bahwa ia berada di dua sisi. Seharusnya di dalam ibadah kita pun hal seperti itu harus dilaksanakan. Namun karena hal itu dari sejak semula tidak dilaksanakan, maka kita tidak tahu bahwa demikianlah maknanya.
Seperti yang sudah kita katakan di atas, sintua itu menaikkan doa jemaat, dan karena yang berdoa itu adalah Tuhan Yesus di dalam diri sintua tersebut, maka kita dapat katakan doa itu akan didengar Allah. Tuhan Yesus juga membawakan doa-doa yang dinaikkan jemaat di dalam hati ketika mereka sedang berdoa di bangku-bangku tatkala kebaktian belum mulai. Karena doa itu adalah doa-doa kita juga, maka kita pun harus mengaminkan doa itu di dalam hati kita.

3. Jemaat Menyanyi
Seperti diutarakan di atas, nyanyian adalah respons terhadap Allah, karena Ia telah hadir, Ia menguduskan kita, Ia telah menerima doa-doa kita. Alangkah indahnya, jika kita menyanyikan pujian itu dengan segenap hati. Untuk itu kita seyogianya telah tahu lebih dahulu lirik dari nyanyian itu, karena kita telah membaca lebih dahulu, karena kita tidak terlambat datang, sehingga kita dapat mempersiapkan diri dengan baik.

4.Hukum Tuhan
Sementara kita menyatakan isi hati melalui nyanyian, liturgis akan menyatakan isi hati Allah. Ia berkata: ”Dengarlah hukum Tuhan…” Allah itu adalah Allah yang kudus, di dalam kasih-Nya Ia menerima orang beriman. Namun kita harus mengenal diri kita. Hukum Tuhan di dalam pemahaman Gereja kita adalah ibarat cermin. Hukum Tuhan adalah kehendak Allah, jalan yang harus ditempuh oleh umat-Nya. Pada saat kita mendengar hukum Tuhan dibacakan, maka seyogianyalah kita menemukan diri kita di dalam perspektif kehendak Allah. Tentulah sebagai respons terhadap hal itu kita berdoa untuk memohon kekuatan untuk melakukan kehendak Tuhan tersebut.

5. Jemaat Menyanyi
Kita memberi respons kepada hukum Tuhan itu dengan nyanyian. Tentulah kita akan menyanyi dengan segenap hati.

6. Pengakuan Dosa
Pada saat kita mendengarkan hukum Tuhan dan kita menjadikannya sebagai cermin, maka tentulah kita akan menemukan diri kita di dalam kesalahan. Karena itu kita berdiri di hadapan Allah untuk mengaku dosa-dosa kita. Hanya mereka yang tidak menyadari dosa-dosanya yang tidak mau berdiri di hadapan Allah Yang Maha Kudus, untuk mengaku dosa-dosanya. Liturgis dari sisi insani membawakan pengakuan dosa itu ke hadapan Allah. Dari keberadaan seperti itu kita tahu bahwa liturgis itu bukan membacakan kalimat-kalimat di dalam agenda, melainkan melakonkan acara itu di hadapan Allah. Oleh karena itu pula intonasi dari suara sintua tatkala mengucapkan doa itu berbeda dengan intonasi dari ucapan berita pengampunan dosa. Dimana pada sisi ini, ia berada di sisi ilahi tatkala ia mengucapka pengampunan dosa.
Karena yang menaikkan permohonan itu adalah Kristus Yesus sendiri, maka tentulah akan dikabulkan. Itulah sebabnya kita langsung mendengar janji Allah tentang pengampunan dosa. Apakah otomatis pengampunan itu dialami oleh setiap orang yang hadir di dalam ibadah tersebut? tentula tidak! Pengampunan itu hanya diterima oleh orang-orang yang sungguh-sungguh mengaku dosanya. Itulah sebabnya di dalam ibadah kita di jalan Jambu, setelah liturgis selesai mengucapkan doa tersebut, kepada kita diberikan kesempatan untuk mengaku dosa-dosa kita secara pribadi. Segala dosa yang kita lakukan di dalam minggu itu. Barulah kita mendengar janji Allah tentang pengampunan dosa. Orang yang mengaku dosa dan rindu akan keampunan dosanya, merekalah yang mendapatkan pengampunan dosa. Karena pengampunan sudah sampai kepada kita, maka liturgis itu menyuarakan “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang maha tinggi.” Ia menyuarakan itu dari sisi insani. Jemaat akan menyambut doxologi ini dengan “amin.” Barukah kita duduk kembali.

7. Jemaat Menyanyi
Setelah kita menerima pengampunan dosa, wajarlah kita memberi respons dengan nyanyian yang diungkapkan dengan segenap hati kita dan segenap jiwa. Seperti yang sudah dikatakan di atas. Ibadah kita adalah responsoria bentuknya. Melalui responsoria seperti itu, kita mengalami perjumpaan dengan Allah.

8. Epistel
Setelah menyanyi, liturgis akan menyuarakan nats epistel untuk minggu itu. Epistel memberi arahan tentang petunjuk praktis di dalam kehidupan sehari-hari. Penjelasan tentang nats ini kita sudah kita dengar di dalam kebaktian “partangiangan wijk” yang diselenggarakan jemaat kita setiap minggu. Sekarang kita mendengarkannya kembali untuk kita lakukan di minggu ini. Bagaimana dengan orang yang tidak datang pada partangiangan wijk? Tentulah ia akan mempersiapkan diri di rumah sebelum datang ke Gereja, sebab kita memiliki Almanak HKBP. Epistel adalah petunjuk praktis, maka liturgis menutup pembacaan firman Tuhan itu dengan ucapan “Berbahagialah orang yang mendengar firman Allah dan melakukannya.”

9 Jemaat Menyanyi
Kita memberi respons di dalam bentuk nyanyian. Liriknya tentulah sebagai satu pernyataan melakukan firman Allah.

10. Pengakuan Iman
Setelah nyanyian itu kita diundang untuk bangkit berdiri agar mengucapkan Pengakuan Iman Rasuli. Ucapannya adalah sebagai berikut: “Bersama-sama dengan saudara-saudara seiman di seluruh dunia…” satu pertanyaan perlu diajukan, siapa saja yang dimaksudkan dengan saudara-saudara seiman di seluruh dunia itu? Maksudnya tentulah tidak hanya orang-orang Kristen yang hadir pada waktu itu, juga bukan hanya orang Kristen yang hidup di dunia sekarang ini, tetapi juga orang Kristen yang sudah mendahului kita. Mereka itu adalah saudara-saudara seiman kita. Jadi tatkala kita berdiri untuk mengaku iman percaya, maknanya ialah apa yang saya ucapkan tentang iman saya, itu tidak berbeda dengan apa yang diimani oleh Nomensen, demikian juga dengan orang Batak yang pertama-tama menerima Injil. Sama seperti mereka berdiri mengaku iman yang murni itu, demikian juga kita mengungkapkannya. Bahkan bukan hanya itu saja. Di tempat itu hadir juga orang-orang Kristen dari generasi yang akan datang. Mereka hadir di dalam diri Kristus. Sebab HKBP adalah salah satu dari penampakan tubuh Kristus yang berasal dari segala kaum di muka bumi ini. Tubuh Kristus adalah Gereja yang tidak kelihatan, mencakup seluruh totalitas orang kristen dulu, sekarang dan nanti. Bilamana kita memahami HKBP adalah salah satu penampakan tubuh Kristus, maka ketika kita beribadah, itu adalah ibadah dari tubuh Kristus. Maka di sana hadir juga orang yang tidak hadir. Sama seperti yang dikatakan Musa di padang gurun kepada bangsa Israel, “Bukan hanya dengan kamu saja aku mengikat perjanjian dan sumpah janji ini, tetapi dengan setiap orang yang ada di sini pada hari ini bersama-sama dengan kita, yang berdiri di hadapan Tuhan Allah kita, dan juga dengan setiap orang yang tidak ada di sini pada hari ini bersama-sama dengan kita. (Kel 29:14-16)
Orang yang hadir di dalam ibadah itu – secara iman –tetapi tidak hadir secara fisik, mereka itu adalah generasi pendahulu, dari masa yang lalu dan generasi yang akan datang. Jadi, jika seorang pemuda berdiri di situ dan mengaku imannya, maka di dalam dia hadir juga anak cucunya kelak. Bersama pemuda itu, anak cucunya yang ada di dalam dia, hadir juga dan turut mengucapkan pengakuan iman tersebut. Argumen untuk itu sudah dikatakan di atas, yaitu di dalam Kristus. Argumen tambahan kita utarakan di sini, ialah menurut surat Ibrani, Lewi di dalam Abraham, bapa leluhurnya, ia juga turut mempersembahkan perpuluhan kepada Melkisedek, tatkala Abraham mempersembahkan perpuluhan tersebut. (Ibr. 7:4-10). Pada hal Lewi pada waktu itu belum lahir. Mengapa Lewi dikatakan turut mempersembahkan? Karena ia ada di dalam diri Abraham, bapa leluhurnya. Sama seperti itulah pemahaman saya tatkala saya berdiri mengucapkan pengakuan iman. Saya mengucapkan hal itu di dalam Kristus, dan di dalam Kristus, hadir juga generasi dahulu dan generasi nanti. Alangkah agungnya ibadah kita itu!
Di dalam pemahaman secara pribadi, saya melihat, tatkala kita mengucapkan pengakuan iman tersebut, saya mengucapkannya, di hadapan Allah dan para malaikat-Nya; di hadapan orang-orang percaya di sepanjang masa, dan juga di hadapan roh-roh jahat di udara! Orang-orang kudus yang telah mendahului kita itu, disebut penulis surat Ibrani sebagai para saksi, Ibr.12:1. Pada waktu itu pula, saya secara imajiner mengadakan perjalanan rohani, dari penciptaan alam semesta, - sebab Allah adalah pencipta langit dan bumi – sampai ke Betlehem, dimana Kristus lahir, sampai ke Golgata, tatkala Kristus disalibkan di sana dan dikuburkan. Perjalanan itu diteruskan ke kubur kosong, lalu ke Betania tempat Ia naik ke Surga, bahkan sampai di Surga bersama rasul Yohanes, melihat tahta dan kedua puluh empat tua-tua yang bermahkota, dimana kita bersama mereka sujud menyembah Dia. Setelah itu turun lagi ke bumi, melihat Gereja purba, Gereja abad pertengahan sampai Gereja di zaman Nomensen, sampai Gereja kita sekarang ini. Bahkan sampai ke tahta penghakiman kelak, dimana semua mahluk dihakimi, dan saya dihakimi sebagai orang benar di hadapan-Nya. Gambaran seperti itu diutarakan pendeta Pakpahan di dalam bukunya tentang makna ibadah kebaktian HKBP. Pertanyaan sekarang ialah : bagaimana dengan anda?

11 Warta Jemaat
Setelah kita mengaku iman percaya kita, maka tiba saatnya kita mendengar berita dari sesama anggota keluarga Allah. Orang yang berdiri di sisi saya itu, di depan di samping dan di belakang, adalah saudara satu bapa di dalam Tuhan. Di dalam persekutuan dengan Allah dan dengan sesama keluarga Allah, kita mendengar berita dari Allah, dan berita dari sesama. Di dalam warta jemaat itu, kita akan mendengar berita tentang kelahiran seorang anak di dalam keluarga saudara seiman. Biasanya warta itu senantiasa diakhiri dengan sebuah doa “semoga Tuhan memberkati anak itu beserta orang tuanya.” Kita pun turut meng-amin-kan hal itu di dalam hati. Bila kita berjumpa dengan kedua orang tua yang berbahagia itu, maka kita pun mengucapkan selamat berbahagia kepada mereka, sebagai respons aktif kita terhadap warta tersebut.
Melalui warta itu pun kita akan mendengar rencana saudara yang akan menikah. Kita pun wajib memeriksa kelayakan dari orang-orang yang akan menikah tersebut. Bilamana ada hal-hal yang tidak pas menurut RPP (Ruhut Parmahanion Paminsanon = Hukum Siasat) dari Gereja kita, maka wajiblah kita memberitahukan hal itu kepada pendeta untuk ditindaklanjuti. Namun jika kita tidak mengetahui ada hal-hal seperti itu, maka wajiblah kita mendoakan rencana pernikahan itu, karena mereka adalah saudara kita. Jika kita berjumpa dengan mereka, atau kedua orang tua kedua belah pihak, kita pun akan menyampaikan salam kepada mereka, untuk menunjukkan bahwa kita turut besukacita atas rencana pernikahan tersebut.
Kita pun mendengar warta dukacita tentang meninggalnya anggota keluarga Allah. Warta ini senatiasa ditutup dengan doa: “Semoga Tuhan memberikan penghiburan dan kekuatan iman bagi anggota keluarga yang berdukacita itu” kita pun mengaminkan doa itu di dalam hati. Sebagai penampakan dari kata amin itu, maka kita pun pergi melayat ke rumah duka. Kita menghibur orang yang berduka itu di rumah duka dan mendoakan mereka di rumah kita masing-masing, karena mereka adalah saudara di dalam Tuhan.
Di dalam warta itu juga kita mendengar warta tentang keuangan jemaat, dan warta-warta lain. Semuanya itu harus diberi respons sesuai dengan kemapuan kita masing-masing. Oleh karena itu seharusnya kita mendengar warta itu dengan sepenuh hati. Namun jika kita perhatikan sikap dari anggota jemaat pada mata acara itu, banyak dari antara mereka yang acuh tak acuh, banyak yang ngobrol. Hal itu terjadi tentulah karena mereka tidak memahami makna dari warta jemaat di dalam ibadah kita.
12. Jemaat Menyanyi
Sebagai repons bersama terhadap warta itu, kita bersama sama menaikkan pujian kepada Allah, sekaligus persiapan untuk mendengar firman Allah. Ingat respons kita senatiasa di dalam doa dan pujian.

13 Khotbah
Seperti yang sudah diuraikan di atas, liturgis yang berdiri di altar itu pada hakekatnya bukanlah dia melainkan Kristus yang berdiri di sana; demikian juga halnya dengan pendeta yang berdiri di mimbar. Pendeta itu adalah representasi dari Kristus. Itulah sebabnya perkataan yang pertama keluar dari mulutnya ialah ‘Damai sejahtera yang melampaui segala akal akan memelihara hati dan pikiranmu di dalam Kristus Yesus. Amin.” Jika kita melihat dia yang berdiri itu adalah manusia, maka tentulah tidak ada berkat yang datang dari dia. Namun jika mata iman kita melihat bahwa dia yang berdiri di altar itu adalah Tuhan sendiri, maka tentulah berkat akan mengalir dari Dia.
Kita datang ke dalam ibadah minggu bukan hanya untuk mendenngar firman Tuhan, tetapi untuk berjumpa dengan Dia dan berjumpa dengan sesama saudara di dalam keluarga Allah. Sekalipun khotbah pendeta itu tidak terlalu pas dengan isi hati kita, namun kita harus sadar dengan tujuan ibadah itu sendiri. Kita akan tetap dapat berkat dari perjumpaan tersebut. jika nas Epistel kita katakan adalah petunjuk praktis dalam kehidupan, maka Evangelium adalah doktrin iman Kristen. Sehingga ada keseimbangan antara etika – petunjuk pratis – yaitu epistel dan doktrin, yaitu evangelium.
Setelah pengkhotbah menyampaikan isi hati Allah, maka sebagai wakil manusia ia menaikkan doa syafaat bagi isi dunia. Kita pun turut mengaminkan doa itu di dalam hati kita. Perlu ditekankan di sini, khotbah bukanlah inti dari ibadah minggu. Keseluruhan acara, yaitu perjumpaan dengan Allah adalah arti dari ibadah minggu di HKBP.

14. Jemaat Menyanyi/Persembahan
Setelah kita mendengar khotbah, yang isinya adalah isi hati Tuhan untuk dilaksanakan pada minggu ini, maka kita pun memberi respons dengan memberi persembahan. Sering saya dengar liturgis mengatakan “Marikah kita bernyanyi sambil mengumpulkan persembahan.” Memang dikerta acara dibuat demikian. Dari ungkapan itu, kelihatan bahwa acara pokok ialah bernyanyi; pada hal acara pokoknya ialah menguimpulkan persembahan. Seharusnya menurut hemat saya ucapannya ialah “marilah kita mengumpulkan persembahan kepada Tuhan sambil bernyanyi. ”Acara persembahan itu bukanlah sambilan. Di dalam kitab Keluaran kita baca bahwa Tuhan memerintahkan agar Israel jika datang kepada-Nya, agar datang dengan persembahan dan tidak boleh dengan tangan hampa (Kel. 23:15). Di samping itu, kita harus memahami persembahan itu adalah sesuatu yang kudus, sehingga persembahan itu seyogianya telah disiapkan dari rumah. Kita menyerahkan persembahan itu dengan sukacita, sebab yang menerimanya ialah Allah Bapa kita. Mulut kita memuji Tuhan, sementara tangan kitapun memuji Dia di dl persembahan itu. Jika kita konsisten dengan pemahaman bahwa yang berdiri di altar itu adalah dia yang merepresentasikan Tuhan Yesus, maka menurut hemat saya harus liturgislah yang menerima persembahan itu dari para pengumpul persembahan. Lagi pula persembahan itu harus ditaruh di meja Tuhan, bukan seperti sekarang ini ditaruh di peti tersendiri. Saya tidak dapat mengerti apa makna dari peti itu. Saya melihat di HKBP Bandung Jl. Riau, liturgis yang menerima persembahan, bukan seperti di Jl. Jambu, pembaca warta jemaat yang menerimanya. Saya sangat suka jika kita mengikuti HKBP Bandung.

15 Penutup: Doa Persembahan + Doa Bapa Kami + Berkat
Acara akan berakhir, maka kita berdiri kembali di hadapan Allah, untuk diutus kembali ke dalam kehidupan sehari-hari. Kita menyerahkan persembahan kita itu lebih dahulu di dalam doa. Yesus membawa persembahan itu ke hadirat Allah melalui doa sang liturgis. Kita pun mengaminkan doa itu di dalam hati. Persembahan itu diterima Allah, lalu kita memberi respons dengan nyanyian: ”Tuhan karunia-Mu….” Kita bukan hanya mempersembahkan uang kita, tetapi totalitas kehidupan itu dipersembahkan kepada Allah. Sebagai doa penutup kita mendengar doa Bapa Kami yang kita responi dengan doxologi “karena Engkau yang punya …” Setelah itu kita diutus pulang dengan berkat, yaitu: berkat dan perlindungan, perhatian (saya memahami makna dari Tuhan menghadapkan wajah-Nya” dalam pengertian perhatian penuh, atensi) dan kasih karunia-Nya. Sinar wajah adalah kemuliaan, itu pun menyertai saya, sama seperti Musa mendapatkan hal itu di atas gunung Sinai. Berkat terakhir ialah damai sejahtera. Syalom Allah. Lalu respons terakhir kita ialah amen tiga kali. Amen ini bukan hanya mengaminkan berkat tersebut tetapi mengaminkan untuk setiap acara yang telah kita ikuti dari awal hingga akhir. Jadi jika kita mengikuti acara ibadah minggu dalam pengertian seperti diuraikan di atas, kita pun akan pulang dengan berkat dari Tuhan kita. Kita akan diubahkan menjadi manusia baru di dalam Kristus.

Catatan akhir
Pertanyaan timbul di lubuk hati yang paling dalam! Kapankah HKBP mengajarkan hal itu kepada warga jemaatnya? Pada waktu saya katekisasi pada tahun 1965 di HKBP Balige, sepanjang yang saya ingat, hal itu tidak diajarkan kepada kami. Ketika masa belajar menjadi sintua di HKBP Menteng, memang hal itu diajarkan kepada kami. Tetapi tidak semua sintua memahami makna ibadah minggu itu dalam perspektif yang sudah diuraikan di atas. Bagaimana dengan anggota jemaat? Semoga apa yang dituliskan di sini dapat meneguhkan iman kita, dan memampukan kita menghayati keindahan dan keagungan serta rahasia ibadah kita. Sehingga tidak terlalu gampang untuk mengatakan ibadah HKBP sebagai sesuatu yang monoton! Semoga!

Penulis adalah sintua di HKBP Menteng, Jl. Jambu 46 Jakarta, dari sejak doli-doli. Sekarang aktif melayani pemuridan (kelompok kecil) untuk para pemuda di beberapa jemaat HKBP di Jakarta, juga di kalangan keluarga. Anggota MPS HKBP dari Distrik XXI periode 2004-2008

udutna......

3 Feb 2010

Parjambaran ulaon di jabu

Angka ulaon di jabu tardokma : Tardidi dakdanak (partangiangan dung mulak sian gareja), malua sian panghanghungi (dung mulak sian gareja), manuruk/mangompoi jabu.

Diangka ulaon sisongonon digonghon hasuhuton ma dongan tubuna, dongan sahuta, boru/bere, pariban, hula-hula, jala sipata sahat tu Tulang. Masa do dung sidung marsipanganon sae jolo disunghun hula-hula manang Tulang partording ni tudu-tudu sipanganon i. Jala dialusi hasuhuton (pai dua ni suhut) ma antong. Dungi intor diboan pamoruon do tupudi asa disi dipature, jala dinanaeng mulak pe annon asa dibagihon tu natalup mandapotsa.

Dinapiga-piga hali niihuthon ulaon sisongonon, hira asal rambing nama angka parjambaran i dipatupa. Sipata dang margoar jambar be, ai nunga gabe saksang dibahen namangulahon. Mangarimangi ma iba, nasodiantusi namangulahon ma haroa parbagian parjambaran. Udut tusi dison nisurathon ma jolo parjambaran di jabu na niboto (Toba holbung) :

Hula-hula : Namarngingi/parsanggulan parsiamun

Tulang : Namarngingi/parsanggulan parhambirang

Tulang rorobot : Sombasomba

Bere/pariban, Dongan sahuta/ale-ale, Pangula ni huria : Soit

Hasuhuton dohot dongan tubu : Ihur-ihur

Sipata nibereng olo ditambai hasuhuton juhut songon namanambai jambar i, nauli jala nadenggan ma i tutu

udutna......

18 Jan 2010

Menjamin hak perempuan batak setelah menikah

Ketika hendak menikahkan anak perempuan batak, SINAMOT NI BORU selalu dibicarakan namun yang menerima adalah parboru. Apa demikian yang sebenarnya?

Dalam tradisi batak saat ini yang terbayang adalah, berapa banyak duit yang akan diterima pihak orang tua perempuan (PARBORU). Mereka melakukan kalkulasi, beli pakaian dan perhiasan, beli ulos, beli ikan (dengke) ongkos (khususnya yang dibona pasogit). Semuanya itu dikatakan SINAMOT NI BORU.

Monang Naipospos

SINAMOT NI BORU
Pada tradisi batak lama, setiap perempuan yang hendak dikawinkan harus dijamin hidupnya kelak setelah menjadi “pardihuta” bagi suaminya dihadapan mertuanya. Jaminan itu dibahas berapa besar dari harta calon mertuanya itu yang menjadi bagiannya. Ini disebut MANGGOLI, ada batasan yang jelas yang kelak menjadi PANJAEAN.
Harta benda itu terdiri dari, ruma, sopo, emas, gong, sawah, ternak yang terdiri dari kerbau, sapi dan kuda. Inilah yang disebut SINAMOT. Sinamot itu adalah harta benda yang menopang kehidupan dan kesejahteraan.

MANGGOLI SINAMOT, tujuannya agar kelak tidak terjadi konflik diantara keturunan paranak. Inilah yang kemudian ditinjau kembali oleh pihak orangtua perempuan saat dilakukan TINGKIR TATARING, ketika orangtua lakilaki melakukan acara PAJAEHON (memandirikan) pasangan itu.

Saat manggoli sinamot, raja parhata dengan tegas melakukan permintaan kejelasan akan sinamot ni boru ini, menguraikan beberapa bagian dari jenis harta yang lajim dalam pembagian hak waris.

Saya berikan satu contoh dari kedua keluarga yang memiliki harta benda yang lengkap.
Pihak paranak menjawab permintaan pihak parboru ;
Nauli Rajanami, ianggo sinamot ni borumu, rade ma sada ruma, saparinaan horbo, sandangka mas, dua turpuk hauma saba, jala bagianna ma porlak sisoding. Ba mamuhai tataringna ba rade ma 200 ampang eme.
Yang menjadi bagian mereka kelak ada satu rumah, sepasang kerbau, seuntai emas, dua petak sawah dan kebun. Untuk memulai kemandirian mereka akan diberikan 200 kaleng padi. Disini dijelaskan bila mereka tidak memiliki gong, lembu dan kuda.

Setelah ini disepakati, barulah pihak parboru menanyakan “adat marama”. Ini merupakan penghormatan dan penghargaan kepada orangtua yang membesarkan, membimbing dan merawat hingga dewasa. Ini dikaitkan dengan istilah “pagopas panoguna” memperkuat upaya menarik hati. Tapi dalam bahasa adat lajim disebut “somba maruhum”.

Dalam tradisi lama dengan contoh diatas, paranak menjanjikan satu ekor kerbau sebagai SOMBA NI UHUM. Kerbau ini diantarkan ke kampung halaman PARBORU pada waktu yang ditentukan.

NAPOSO bersiap membuka pintu gerbang kampung dan mereka kemudian disebut SIUNGKAP BAHAL. Saudara PARBORU bersiapsiap membuka pintu kandang “BARA” inilah yang kemudian disebut PAMARAI.
Pamarai dalam kaitan ini tidak dapat disamakan dengan pengertian MANGABARAI memikul beban di pundak.

PAUSEANG
Dalam anak TUBU BORU SORANG keterangan pauseang ini sudah lebih jelas. Ini merupakan penegasan bahwa bila parboru menuntut hak waris anaknya yang disebut PANJAEAN, dia juga berkewajiban untuk memberikan hak waris kepada putrinya yang disebut PAUSEANG.

LEGISLASI HAK WARIS
Setelah cukup waktunya menurut PARANAK maka dilakukan acara PAJAEHON. Mereka menjadi keluarga baru yang mandiri, akan mengelola semua SINAMOT yang sudah dijanjikan sebelumnya. Manjae bisa saja tetap dalam satu rumah tapi jelas pemisahannya dengan istilah MARHUDON PANJAEAN MARTALAGA OLAT-OLAT.
Dalam acara ini langkah parboru disebut TINGKIR TATARING. Pada saat itu parboru dapat menyaksikan semua SINAMOT NI BORU itu dalam bentuk nyata. Bila kerbau, dapat sentuh, sawah dapat dipijak, kebun juga disaksikan dengan mata sendiri. Emas juga diperlihatkan dan ditimbang.
Ini mempertegas bahwa tidak ada lagi silang sengketa kelak diantara menantunya bersaudara, karena sudah disaksikan sendiri dengan pengetua dan kerabat dekat kedua belah pihak.

Setelah itu, pihak paranak melakukan kunjungan ke kampung halaman parboru. Mereka disebut MEBAT, artinya mangebati kampung halaman hulahula. Disini dimanfaatkan untuk mempertegas PAUSEANG yang telah dijanjikan parboru. Pihak paranak berhak mengunjungi sawah yang dijanjikan itu.
Pada kesempatan itu juga dapat dibicarakan (jika mungkin) agar menantunya “marpauseang dihutana”. Ini bila tempat kedua belah pihak sangat berjauhan, hingga sangat merugikan kalau harus “marhauma tandang” mengolah sawah itu karena faktor waktu tempuh yang jauh. Harga jual, (bukan harga “dondon” gadai) sawah itu dialihkan membeli sawah di kampung halaman paranak.

Bila acara UNJUK pelaksanaan perkawinan adalah DIALAP JUAL berada dihadapan parboru, maka kunjungan ke tempat parboru ini disebut MEBAT. Pada acara ALAP JUAL inilah pihak parboru secara total terpenuhi haknya dalam adat dan disebut NANIAMBANGAN.
Bila acara UNJUK dilaksanakan di hadapan paranak disebut DITARUHON JUAL, Pada acara TARUHON JUAL inilah pihak parboru tidak terpenuhi haknya dalam adat karena mungkin tatacara adat dan parjambaron tidak sesua dengan mereka. Mereka harus tunduk dalam hukum adat MARSOLUP DI HUNDULAN. Apa tata cara adat dan parjambaron di pihak paranak itulah yang mereka terima.
Maka kunjungan ke tempat parboru ini disebut PAULAK UNE. Semua kekurangan dan yang tidak terpenuhi saat UNJUK, maka inilah saatnya memenuhi.

Ini sangat bertentangan dengan pemahaman para pakar budaya batak saat ini yang mengatakan PAULAK UNE itu sebagai solusi mengembalikan pengantin wanita yang tidak perawan. Mereka mengartikan PAULAK UNE itu dengan mengembalikan “manusia” dengan baik. Ini tidak ada dalam kamus kebudayaan batak. Kata SIRANG memang ada dalam masyarakat batak dulu tapi prosesnya adalah PAGO SIRANG, bukan paulak une. Pago sirang ada aturan mainnya yang dapat kita bahas di lain kesempatan.

Tidak semua masyarakat batak memiliki harta yang lengkap dan melimpah. Kadangkala dalam pembahasan (harta benda) SINAMOT itu tidak dapat memberikan janji. Pihak paranak hanya mampu menghaturkan sembah permohonan kepada pihak parboru. Tenggang rasa sudah sejak lama berlangsung. Bila pihak parboru lebih unggul dalam harta benda dari pihak paranak maka berlaku adat “tongka masipamaluan” jangan mempermalukan karena kelak mereka akan menjadi keluarga. “Napuran santampuk” sebagai wujud dari sembah penghormatan kepada parboru pun disepakati. Pihak parboru akan menanggung beban yang lebih besar. Walau proses yang tejadi adalah ALAP JUAL namun dalam hal pembahasan Sinamot dan Somba ni UHUM tidak ada hal yang memenuhi sehingga ada penghalusan istilah dengan SITOMBOL.
Ini hanya sebutan, bukan bagian pembahasan dalam adat manggoli sinamot. Istilah SITOMBOL dan RAMBU PINUDUN sebenarnya adalah menutupi kekurangan akibat kemiskinan.

Fakta saat ini, tidak ada lagi pemaknaan manggoli SINAMOT sebagai penjaminan hak perempuan di depan keluarga suaminya. Melulu membahas materi yang akan diterima PARBORU. Kesannya seperti MAHAR dan ada yang menyatakan seperti itu.
Pergeseran pemahaman itu berangsur sejak pihak paranak menyatakan bahwa, kerbau, sawah, emas semuanya sudah dijual untuk menyekolahkan anaknya dan itulah (ilmu pengetahuan, pekerjaan) kelak menjadi PANJAEAN bagi mereka.

Semakin jauh makna Sinamot ditinggalkan karena ada tradisi “langsung” saja. Tawar menawar pun terjadi, hitung hitung pos pengeluaran parboru; ulos yang akan diberi, dengke yang akan dimasak, ongkos rombongan yang diundang. Kesannya SINAMOT NI BORU tapi orang tua perempuan yang menghabiskannya.

Di sela keruwetan pelaksanaan acara adat, ibu pengantin perempuan berkelana menemui semua undangannya dan menyalamkan uang ribuan dengan ucapan “godang do jujalo tuhor ni borunta” atau sesuai dengan hubungan kekeluargaan. Dia menyatakan telah menjual anaknya.

Bila kedua belah pihak memang tidak memiliki harta benda untuk melaksanakan tata kelola adat perkawinan seperti lajimnya dilakukan orang berada, maka SINAMOT tidak lagi dibahas. Mereka memperkecil skop pelaksanaan adat itu. Bahkan tidak ada UNJUK (acara yang biasanya dilakukan di halaman terbuka) tapi dilakukan di dalam rumah. Acara ini disebut MANURUN. Paranak dan parboru berunding menanggulangi biaya.

Apakah dari keluarga yang sangat miskin dapat melakukan perkawinan?
Bila acara MANURUN yang paling sederhana tidak dapat dilakukan maka MANGEMBALHON GAJUT adalah jalan keluarnya. Hanya pengantin yang diberi ulos oleh parboru dan tulangnya bersama kerabat terdekat saja. Kadang tidak ada acara makan dan parjambaron. Kemudian ibu dari pengantin perempuan memberitahukan kepada para kerabat jauh waktu ketemu di onan perihal perkawinan yang sudah berlangsung itu.

Proses perkawinan itu sah menurut adat, dan tidak boleh ada klaim seperti yang sering terdengar saat ini “dang maradat dope”. Yang menikah dengan cara mangembalhon gajut tidak berhutang lagi untuk melakukan pesta adat yang lebih besar walau kemudian menjadi kaya raya.
Bila kemudian dia berniat memberi penghormatan kepada hula-hulanya karena sudah memiliki harta, tidak lagi disebut “mangadati”. Dia hanya memilki kesempatan dengan cara PAEBATHON PAHOMPU.

Konflik pelaksanaan adat perkawinan saat ini berkembang karena tidak ada yang mau mengalah, tidak ada dasar pemikiran makna tradisi itu. Cenderung berlomba meriah tanpa mengukur kemampuan yang ada, “Paihutihut gaja marhonong”. Bila acara dilakukan dengan sederhana, ada pula yang menyindir, “pesta apa ini”.

Banyak yang berkehendak untuk menyederhanakan tapi jarang yang mampu memulai. Adat perkawinan saat ini melelahkan karena lebih banyak asesori yang tidak penting daripada pemaknaan. Yang sederhana seperti MANURUN dan MANGEMBALHON GAJUT sudah dianggap tidak adat ladi. GOK NI ADAT dimaknai bila parboru menerima SINAMOT NI BORU dan ada acara yang meriah. Inilah yang dikategorikan para leluhur NATUNGGING DO NATEAL SONGON HUDON NA SO HINARPEAN.

Materi tulisan ini diurai berdasarkan pemaparan dari beberapa tohot adat di toba dan berdasarkan pengamatan dan kesaksian sendiri penulis.

udutna......

14 Jan 2010

Ulos Namarhadohoan : Rumang hata sidohonon tingki pasahathon ulos herbang

Ulos sipasahaton ni parboru :
1.Ulos pansamot (Natoras/amang/Inang ni pangoli)
2.Ulos Hela + Mandar = Pengantin
3.Ulos Pamarai
4.Ulos ni anak Manjae =simanggokkon
5.Ulos sihunti ampang

Ulos Pansamot/Ulos pargomgom :
Dihamu lae dohot ibotonghu, parjolo ma ta dok mauliate tu adopan ni Amanta pardenggan Basa i dinaung manjalo pasu-pasu parbagason anakhonta, anakmu-helanami, borunami-parumaenmu sian Tuhanta dibagasan joroNa marhite-hite naposo ni Tuhanta. Dison ro do hami pasahathon ulos pansamot tu hamu lae asa sai margogo hamu lae mangalului pansamotan laho marmudu-mudu hela dohot borunami on naung gabe parumaenmon, asa gabe sada ina siboan las ni roha dohot dame ibana ditonga-tonga ni keluargamu. Ulos naganjang ma ulos on, ulos nabidang jala sitorop rambu, mardongan tangiang nami tu Tuhanta pardengggan basa i, sai ganjang ma umurmu dao angka parsahiton "asa andor halumpang ma togu-togu ni lombu, nang togu-togu ni horbo. Sai saur matua ma hamu lae dohot ibotonghu, togu-toguon ni pahompu sahat tu namarnini marnono".
Ulos nabidang ma ulos on, sai asima roha ni Tuhanta dilehon dope dihamu angka pansalongan nabidang "asa binanga ni sihombing ma binongkak ni tarabunga, tu sanggar ma amporik tu lubang satua. Sai sinur ma napinahanmuna gabe nang naniulamuna.
Ulos sitorop rambu ma ulos on, sai tu toropma angka pomparanmu angka anak partahi jala ulubalang dohot boru nauli basa tubuhonon ni parumaenmon.
Asa Sahat sahat ni solu ma sahat tu bontean, hupasahat hami ma ulos herbang on tu hamu lae-ito, sai leleng ma hamu mangolu sai horas sahat tu panggabean. Las ma rohamu manjalo!

Ulos Hela + Mandar
Dihamu amang hela dohot di ho inang boru hasianhu, sadarion nunga dijalo hamu pasu-pasu parbagason sian Tuhanta marhite naposoNa di bagas joro ni Tuhanta. Si dok mauliate ma hamu ala sudena i, ai ido dipangido Debata sian hamu marhite-hite Yesus Kristus siala naung dipungka hamu parsaripeonon. Dison ro do hami laho pasahathon tu hamu ulos herbang, ulos naganjang, ulos nahapal sitorop rambu. Nunga dipadomu hamu Debata hamu gabe sada ripe naimbaru, sai ganjang ma umur muna, sai Tuhanta ma namangaramoti hamu dingolumuna jala dao angka parsahiton.
Ulos nahapal ma uloson, sai dipahapal Debata ma dihamu holong niroha dohot dame. Asa songon nidok ni natua-tua :

"Pege sangkarimpang, hunik sahadang-hadangan. Mangangkat ma hamu rap tu ginjang, manimbungrap tu toru tontong satahi saoloan"

"Sinimbur ni pangkat ma tu sinimbur ni hotang
Tu dia pe hamu mangalakka, sai mamasu-masuma Tuhanta, di si hamu dapotan parsaulian"

Ulos sitorop rambu ma uloson dohot tangiang nami mangido tu Tuhanta :
"Tubuan laklak tubuan sikkoru didolok nipurbatua
Sai asima roha ni Tuhanta, tubu ma dihamu anak partahi jala ulubalang
Dohot boru angka naulibasa donganmu sahat tu nasaur matua

"Andor ras ma tu andor ris, bulung ni tobu pangarahutna
Hupasahat hami ulos herbang on tu hamu
Sai horas ma hamu jala torkis diramoti holong ni roha ni Tuhanta

Sahat sahat ni solu ma sahat tu bontean
sai leleng ma hamu mangolu, sai horas sahat tu panggabean

Udutna, Pasahathon Mandar :
Dihamu amang hela dison mandar hela huampehon hami tu abaramu, martanda ma hamu helanami.Asa unang manarnaloja hamu mangulahon angka ulaon namasa ditonga-tonga ni angka hula-hulamu. Horasma...!!

Ulos Pamarai :
Dihamu amang boru dohot namboru nami (lae dohot ibotonami) dison ro hami pasahathon ulos herbang, ulos pamarai tu hamu. Ulos naganjang, ulos nabidang sitorop rambu dohot tangiang nami mangido tu Tuhanta pardenggan basa I, sai ganjang ma umurmu sai dao ma parsahiton. Ulos nabidang ma on sai dilehon Tuhanta dihamu bidang angka parsaulian dohot pansamotani, asa sai tong-tong dibagasan hahipason jala dibagasan las ni roha hamu sauduran angka namarhaha-maranggi, masitungkol-tungkolan songon suhat dirobean disude angka ulaon dohot namasa ditonga-tonga muna. Ulos sitorop rambu ma uloson, sai torop ma pomparanmu tu joloan on. Jalo hamu ma ulos herbang on amang boru dhot namboru (lae dohot ito), asa "Andor halumpang ma togu-togu ni lombu, dipasu-pasu Tuhanta ma hamu saur matua sahat tu naditogu-togu pahompu", las ma rohamu !

Ulos ni anak manjae (Simandokhon) :
Dihamu berenami (laenami)simandokhon diulaon parsaripeon ni helanami dohot borunami, dison ro do hami pasahathon ulos herbang tu hamu, ulos ni simanggokhon digoari ulos on, ulos naganjang, ulos nahapal, ulos sitorop rambu dohot tangiang nami tu amanta Debata sai ganjangma umurmu dibagasan parhorasan, sai tu lam hapalna ma holong ni rohamu mangurupi natorasmu nang mangalugahon parsaripeonmu, sai torop ma pomparan dihamu sibahen las nirohamu, jala songon nidok ni situa-tua ma dohonon nami :

"Sitorop ma dangkana, sitorop nang rantingna
Gabe jala mamora hula-hulana, songoni nang ianakhonna

Sahat ma solu sahat tu bontean
Sai leleng ma hamu mangolu
sahat tu parhorasan sahat tu panggabean

Jalo hamu ma ulos on....!!

Ulos Sihunti Ampang :
Dihamu berenami sihunti ampang diparsaripeon ni helanami dohot borunami, dison ro do hami pasahathon ulos herbang tu hamu, ulos si hunti ampang digoari ulos on, ulos naganjang, ulos nahapal, ulos sitorop rambu. Sai ganjang ma umurmu dibagasan parhorasan, sai lam tu hapalna ma holong ni rohamu mangoloi hula-hulamu, sai torop ma pomparan di hamu sibahen las ni rohamu, jala songon ni dok ni situa-tua ma :

"Sitorop ma dangkana, sitorop ma rantingna
Gabe jala mamora hula-hulana, songoni nang boruna

Sahat-sahat ni solu sahat tu bontean
Sai leleng ma hamu mangolu
Sahat tu parhorasan sahat tu panggabean

Tambahan si jalo Ulos (namangihut) :
Haha/anggi ni suhut (sijalo ulos todoan)
Boru ni suhut namarhaha-maranggi
Pomparan ni ompung ni suhut marhaha-maranggi (sijalo ulos todoan)
Pomparan ni amang mangulahi ni suhut (sijalo ulos todoan)
Ulos tu punguan parompuan
Ulos tu punguan marga

udutna......

13 Jan 2010

Anggaran Dasar dohot Anggaran Rumah Tangga Punguan Arisan Ompu Mora Sejabodetabek Nahumaliang tahun 2008

Denggan jala ture pardalanni punguan molo sude atur dibagasan ruhut-ruhut paraturan na dipature sude anggota nipunguan i. Alani i marsangkap do roha ni pomparan Ompu Mora laho paturehon punguan arisan pomparan Op. Mora naadong diJabodetabek nahumaliang on, gabe dibahen ma sada songon uhum namangarahut sada pambahenan namanghatindangkon goar ni punguan. Ima naginoaran Anggaran dasar dohot Anggaran Rumah Tangga. Songon natarsurat di toru on.

HATA PATUJOLO

Horas ma dihita sude!
Parjolo ma tapasahat mauliate nirohanta tu Amanta Debata pardenggan basa, ala tangkas do godang nipasu-pasuNa dihita ganup Pomparan ni Ompu Mora sian ari nasalpui sahat tu tingkion.
Holong do namangkuling dihita Pomparan ni Ompunta Ompu Mora, boru, bere/ibebere ditano parserahan on alani naeng ma tontong marsada niroha hita jala togu holong ni roha i lumobi molo jumpang angka ulaon arsak niroha manang las niroha. Marhite i porlu sada punguan/wadah nalaho mengkoordinir sude pomparan ni Ompu Mora ditano Jabodetabek on asa masibotoan/masitandaan, masiurupan, masipodaan, jala masihilalaan.
Marhite i porlu ma antong adong ondolan dinamandalanhon punguan i asa denggan jala ture, alani i dibahen ma Anggaran Dasar dohot Anggaran Rumah Tangga on. Mauliate ma di sude anggota/ruas namangalehon tingki dohot roha nauli gabe boi tarpatupa Anggaran Dasar dohot Anggaran Rumah Tangga on, sai anggiat ma sude hita Pomparan ni Ompunta Ompu Mora lam masihaholongan,masiurupan, masiantusan dohot masipasangapan, tatinggalhon ma angka nahurang denggan jala marsiadu ma hita paherbangkon punguanta on songon hata niumpasa :
“Pago-pago taruge pauk-pauk hudali
Angka nasala nipauli, nadenggan diulahi”

Sai Tuhanta ma na sai tontong mangalehon holong, tiur ni pingkiran dohot pansarian dihita jala sai digomgom ma punguanta on asa songon nidok ni umpasa :
“Emeni simbolon parasaran ni siborok
Sai horas-horas ma punguanta on jala Debatama na marorot”
Botima
Poda :
1. Unang asahon nasa gogom, alai asahon ma angka tangiangmu, ai ido na mangalehon gogo nasumurung
2. Hatahon ma natingkos dibagasan elek dohot serep ni roha, uang hatahon natingkos mardongan muruk manang asup-asup
3. Dang sae gogo ni suara paturehon angka na sala, holan dos ni roha do bonsir ni sude angka nauli

ANGGARAN DASAR PUNGUAN POMPARAN NI OMPU MORA, BORU,BERE/IBEBERE SEJABODETABEK TAHUN 2008

PASAL 1
GOAR, WAKTU DOHOT INGANAN
Goar ni punguan on ima Pomparan Ompu Mora,boru,bere/ibebere, waktu dang ditontuhon jala berkedudukan/namaringanan di Jabodetabek nahumaliang

PASAL 2
AZAS NI PUNGUAN
Punguan Pomparan Ompu Mora, boru, bere/ibebere on berdasarkan atas kekeluargaan dohot gotong royong/masiurup-urupan serta berazaskan hakristenon jala dang berpihak tu aliran politik manapun.
PASAL 3
SANGKAP DOHOT TUJUAN
1. Pahotton jala patoguhon hasadaan disude pomparan ni Ompu Mora, boru, bere/ibebere namaringanan di Jabodetabek nahumaliang
2. Masiurup-urupan dibagasan holong niroha asa sude mardomu dibagasan hasadaan disude ulaon tu hadengganon
3. Sisada panghilalaan diangka ulaon las niroha tarlumobi molo masa arsak niroha diangka pomparan ni Ompu Mora
4. Parsaoran marhite angka namasa diuhum paradaton dipomparan ni Ompu Mora dohot diangka paradatan

PASAL 4
RUAS/ANGGOTA PUNGUAN
Anggota/ruas punguan ima sude pinomparni Ompu Mora, boru, bere/ibebere namaringanan di Jabodetabek nahumaliang jala na manolopi Anggaran Dasar dohot Anggaran Rumah Tangga on

PASAL 5
PARHEPENGON/KAS PUNGUAN
Parhepengon/Kas ni punguan bersumber sian :
1. Uang Pangkal
2. Iuran wajib
3. Persembahan/penambahan kas
4. Sumbangan sukarela
5. Usaha-usaha naasing na so bertentangan tu AD/ART ni punguan
6. Donasi

PASAL 6
PENGURUS PUNGUAN
1. Pengurus ni punguan dipillit jala dipahot marhite rapot anggota
2. Periode masa kerja pengurus ima 3 taon
3. Pengurus ni punguan ima :
1. Penasehat
2. Ketua
3. Sekretaris
4. Bendahara
5. Komisaris Wlayah

PASAL 7
TUGAS-TUGAS PENGURUS
1. Penasehat martugas maniroi pengurus dohot angka anggota/ruas asa mambahen tu lam dengganna punguan
2. Ketua martugas mangkoordinir disude kegiatan ni punguan jala manotophon keputusan-keputusan na bersifat urgent, mangaradoti ulaon napinamasa ni punguan dohot namasa diruas, mambahen uso-uso tu ruas na so unduk tu AD/ART on jala dalan maniroi asa gabe unduk tu aturan ni punguan
3. Sekretaris martugas melaksanakan fungsi-fungsi administrasi, keanggotaan dohot kegiatan-kegiatan ni punguan jala mewakili ketua molo berhalangan
4. Bendahara martugas melaksanakan administrasi parhepengon ni punguan, manimpan/mangaluarhon sian kas sesuai dohot aturan ni punguan jala naung tinolopanni ketua, mamboan kas ni punguan setiap adong pardomuan ni punguan jala mambahen ruji-ruji parartaon marhite parhepengon dohot pelaporanna
5. Komisaris martugas :
1. Pasahatton tu Ketua angka namasa di anggota/ruas
2. Manampung usul ni anggota/ruas jala pasahatton di angka parrapoton
3. Manorangkon tu anggota/ruas namardomu tu AD/ART
4. Manogihon/maniroi tu angka Pomparan ni Ompu Mora na so mandohoti punguan dope

PASAL 8
ANGKA NA ASING
Angka na hurang/lobi di Anggaran Dasar on diatur jala dipahantus di Anggaran Rumah Tangga
Jakarta, 10 Agustus 2008

Ketua
K. Siahaan/Op. Merdeka

ANGGARAN RUMAH TANGGA PUNGUAN OMPU MORA, BORU, BERE/IBEBERE
SEJABODETABEK TAHUN 2008

PASAL 1
KEWAJIBAN ANGGOTA/RUAS
1. Manggarar uang pangkal Rp.50.000,- (lima puluh ribu rupiah) per anggota
2. Manggarar uang iuran Rp.10.000,- (sampulu ribu rupiah) per arisan jala digarar/dipungut ma i ditingki arisan
3. Paboahon/pabotohon na masa (las niroha/arsak ni roha) tu pengurus manang tu angka anggota/ruas
4. Manumbang tu punguan manang tu anggota diangka ulaon las ni roha/arsak ni roha
5. Manopot angka anggota ni punguan namarsitaonon/musibah
6. Mematuhi ketentuan-ketentuan naung tarsurat di Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga on
PASAL 2
HAK-HAK ANGGOTA/RUAS
1. Berhak mamillit jala dipillit gabe pengurus marhite rapot anggota
2. Berhak mandapot pangurupion sian punguan hombar tu tordingna :
A. TINGKI LAS NI ROHA
1. Pangolihon anak : pasahaton ni punguan do tumpak godangna Rp.200.000,- (dua ratus ribu rupiah)
2. Pamulihon boru : pasahaton ni punguan do songon pangganti ni ulos ima ulos na tinonun ni pamarenta godangna Rp.200.000,- (dua ratus ribu rupiah) tu suhut
3. Diangka ulaon las ni roha na asing asa dipabotohon melalui gokkon/undangan ma tu pribadi-pribadi ni anggota/ruas, jala haroroni anggota disesuaikan ma tu paradatan na hombar
B. TINGKI ARSAK NI ROHA
1B. NAMARSAHIT
1. Namarsahit : di rawat inap/opname di rumah sakit 3 (tolu) ari manang lobi ro do punguan besuk jala pasahaton ni punguan do songon ganti ni buah godangna Rp.200.000,- (dua ratus ribu rupah) sarupa do molo dirawat di tabib
2. Di angka partikkian dang sanga punguan membesuk tu rumah sakit, roma punguan tu tabagasna pasahatton songon ganti ni buah Rp.200.000,- (dua ratus ribu rupiah)
3. Molo rawat inap/opname di luar Jabodetabek, ro do punguan pasahatton ganti ni buah Rp.200.000,- (dua ratus ribu rupiah) tu bagasna dung mulak sian rumah sakit
4. Namarsahit di jabu dipabotohon ma tu punguan/anggota jala masing-masing pribadi ro ma songon na mambesuk
2B. NAMONDING
1. Molo anggota (Ama/Ina) namonding pasahaton ni punguan do pangurupion sian kas godangna Rp.300.000,- (tolu ratus ribu rupiah) jala dipadalan do tok-tok ripe sian anggota/ruas balgana Rp.50.000,- (lima puluh ribu rupiah) / KK jala dipasahat mai ditingki ro punguan Mangapuli/marhata togar-togar
2. Molo anak/boru ni anggota na monding pasahaton ni punguan do pangurupion sian kas godangna Rp.300.000,- (tolu ratus ribu rupiah) jala dipadalan do tok-tok ripe sian anggota/ruas balgana Rp.50.000,- / KK jala dipasahat mai ditingki ro punguan mangapuli/marhata togar-togar
3. Natua-tua/simatua ni anggota na monding dijolona dipasahat punguan do pangurupion Rp.300.000,- (tolu ratus ribu rupiah). Jala dipadalan punguan do kantung ilu manetek ima take and less sian anggota/ruas, dipasahat mai ditingki ro punguan Mangapuli/marhata togar-togar
4. Natua-tua/simatua ni anggota na monding di Bonapasogit, ro do punguan mangapuli/marhata togar-togar jala dipasahat ma songon pangurupion godangna Rp.200.000,- (dua ratus rbu rupiah)
5. Sipanganon di ulaon Mangapuli/marhata togar-togar i sitanggungon ni sude anggota/ruas do i, ima : daging Sapi 2 Kg + kantang 1 Kg

PASAL 3
ANGGOTA NA PINDAH
Molo adong anggota naeng pindah manang mulak tu Bonapasogit dipabotohon ma tu punguan melalui pengurus/anggota, jala ro do punguan songon na paborhatton dohot pasahatton kenang kenangan/cindera mata balgana Rp.300.000,- (tolu ratus ribu rupiah)

PASAL 4
POMPARAN OMPU MORA NASO TARDAFTAR
1. Molo masa habot niroha/arsak ni roha di angka Pomparan ni Ompu Mora di Jabodetabek na so tardaftar gabe anggota ni punguan diadopi ma hombar tu adat namasa di Jabodetabek, isarana rupani pasahatton Ulos Tujung/Saput/Sampe tua, alai dang mardalan pengeluaran Kas ni punguan songon natarsurat di AD/ART.
2. Molo adong diangka ulaon arsak ni roha isarana rupani “Marhata togar-togar/mangapuli/manghata-hatai di angka pomparan ni Ompu Mora se Jabodetabek na so tardaftar gabe anggota ni punguan diadopi ma sesuai tu gokkon, jala boan-boan/sipanganon na hombar tu ulaon i di parade na manggokkon ma
3. Molo masa arsak ni roha/manang si las niroha di pomparan ni Ompu Mora di Jabodetabek naung tardaftar gabe anggota ni punguan alai dang mandohoti arisan dipadalan ma sesuai dohot na tarsurat di AD/ART

PASAL 5
ARISAN
Dipatupa punguan do arisan alai dang hira kewajiban tu sude anggota, jala anggota na mangihutton arisan i ditontuhon ma :
1. Balga ni arisan Rp.50.000,- (lima puluh ribu rupiah)
2. Arisan ditontuhon sahali 2 (dua) bulan di Minggu paduahon (ari minggu) songon inganan parsaoran disude anggota jala masuk pukul 14.00 WIBB, Molo adong anggota/ruas namangido perubahan waktu manjabui dipasahat ma ditingki parpunguan arisan naparpudi

PASAL 6
PANUTUP
1. Anggaran Dasar dohot Anggaran Rumah Tangga on ima hasil rapot ni anggota Pomparan ni Ompu Mora tanggal 11 Mei 2008 di bagas ni Amanta H. Sitio/Br.Siahaan na beralamat di Jln. Sarbini III Rt.07/06 Kel/Kec. Makasar Jakarta Timur jala dipature muse di bagas ni Omp. Romauli na beralamat di Perumnas Cengkareng tanggal 10 Agustus 2008, dipahot muse di bagas ni Ama. Wen di Saribumi Indah Tangerang tanggal 12 Oktober 2008.
2. Sude natarsurat di Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga on gabe sada panduan ma dihita sude laho padalanton punguan on, alani i tama ma hita mangihutton AD/ART on
3. Angka nasoniatur di AD/ART on dope, tontuhonon dope ditingki na hombar tu namasa naso bertentangan tu azas ni punguan, jala sai ditontuhon ma di bagasan dame, serep ni roha dohot dos ni roha.

Ditotophon,
Jakarta, 10 Agustus 2008
Ketua
K. Siahaan/Op. Merdeka

udutna......

Selamat menempuh hidup baru di tahun baru

Keluarga besar pomparan Ompu Mora ikut bersukacita atas pernikahan : Togaf Alvin Bosa Siahaan Amd & Evi Sahat Marito Br.Sinaga SE

Marhatohoan di taon naimbaru. Sabtu, tanggal 9 Januari 2010 manjalo pasu-pasu parbagason Togaf Alfin Bosa Siahaan Amd dohot oroanna Evi Sahat Marito Br.Sinaga SE di HKBP Cililitan Ressort Pulomas. Sidung sian bagas joro ni Tuhanta, rap udur ma tu inganan naung nipatupa hasuhuton ima di gedung serba guna HKBP Cijantung, laho pasahathon adat dohot manjalo adat nahombar

Denggan jala uli do mardalan ulaon i, sai anggiat gabe rumah tangga na gabe siboan lasniroha di hita natua-tuana, sitiruon diangka naumposo jala hasangapon di Tuhanta. "Selamat menempuh hidup baru, jadikan semua nasehat yg diterima sebagai bekal melangkah dikehidupan yg sebenarnya. Tuhan Yesus memberkati!

Suhut : Abang St.Junorong Siahaan/Br.Aritonang sian huta SD 13 Cawang Belakang Kelurahan Cawang Rt.06 RW011 No.47 Jakarta Timur (Pinompar ni Op.Mora/Op.Andan/Op.Galia/Op.Jumorong/Op.Rotua/Op.Joshua

udutna......

11 Jan 2010

Arisan Op. Mora Tahun 2010


Arisan Op. Mora di bulan Pebruari di patupa tanggal 14 Pebruari 2010. Namanjabui ima : Ama Romauli/br.Manurung. Alamat : Perumnas Cengkareng (jabu ni Op.Romauli). Saut do dipatupa arisan ni Op.Mora na dibulan Januari 2010 tanggal 2 Januari 2010 (tingki ulaon Tonggo raja di Cawang. Namanjabui sitorus (ama Joshua)/R.br. Siahaan.

Tu angka pomparan ni Op. Mora nasomandohoti parpunguan arisan on, on ma gabe gokkon dihita saluhutna. Nasomamboto alamat tu arisan bulan Pebruari asa menghubungi Op.Romauli doli HP :081315897489 Jabu : 5458147

Songonima songon boa-boa dihita saluhutna. Tuhanta ma namandongani hita saluhutna

udutna......

30 Dec 2009

Membongkar Gurita Cikeas, di balik skandal Bank Century

Buku membongkar Gurita Cikeas dibalik skandal bank century, karya George Junus Aditjondro yang menghebohkan dan kontroversial sempat menghilang dari peredaran. Kalaupun dapat dipastikan harganya melonjak tajam. Apakah ini strategi pemasaran atau ada yang menghalangi peredaran buku tersebut??. Berikut adalah isi buku yang kontroversial tersebut.

“apakah penyertaan modal sementara yang berjumlah Rp 6,7 triliun itu ada yang bocor atau tidak sesuai dengan peruntukannya? Bahkan berkembang pula desasdesus, rumor, atau tegasnya fitnah, yang mengatakan bahwa sebagian dana itu dirancang untuk dialirkan ke dana kampanye Partai Demokrat dan Capres SBY; fitnah yang sungguh kejam dan sangat menyakitkan. …. sejauh mana para pengelola Bank Century yang melakukan tindakan pidana diproses secara hukum, termasuk bagaimana akhirnya dana penyertaan modal sementara itu dapat kembali ke negara?”

Begitulah sekelumit pertanyaan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pidatonya hari Senin malam, 23 November 2009, menanggapi rekomendasi Tim 8 yang telah dibentuk oleh Presiden sendiri, untuk mengatasi krisis kepercayaan yang meledak di tanah air,
setelah dua orang pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) – Bibit S. Ryanto dan Chandra M. Hamzah – ditetapkan sebagai tersangka kasus pencekalan dan penyalahgunaan wewenang, hari Selasa, 15 September, dan ditahan oleh Mabes Polri, hari Kamis, 29 Oktober 2009.

Barangkali, tanpa disadari oleh SBY sendiri, pernyataannya yang begitu defensif dalam menangkal adanya kaitan antara konflik KPK versus Polri dengan skandal Bank Century, bagaikan membuka kotak Pandora yang sebelumnya agak tertutup oleh drama yang dalam bahasa awam menjadi populer dengan julukan drama cicak melawan buaya. Memang, drama itu, yang begitu menyedot perhatian publik kepada tokoh Anggodo Widjojo, yang dijuluki “calon Kapolri” atau “Kapolri baru”, cukup sukses mengalihkan perhatian publik dari skandal Bank Century, bank gagal yang mendapat suntikan dana sebesar Rp 6,7 trilyun dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), jauh melebihi Rp 1,3 trilyun yang disetujui DPR‐RI. Selain merupakan tabir asap alias pengalih isu, penahanan Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah oleh Mabes Polri dapat ditafsirkan sebagai usaha mencegah KPK membongkar skandal Bank Century itu, bekerjasama dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Soalnya, investigasi kasus Bank Century itu sudah didorong oleh Bibit Samad Riyanto, yang waktu itu masih aktif sebagai Wakil Ketua Bidang Investigasi KPK (Batam Pos, 31 Agust 2009). Sedangkan BPK juga sedang meneliti pengikutsertaan dana publik di bank itu, atas permintaan DPR‐RI pra‐Pemilu 2009.

Dari berbagai pemberitaan di media massa dan internet, nama dua orang nasabah terbesar Bank Century telah muncul ke permukaan, yakni Hartati Mudaya, pemimpin kelompok CCM (Central Cipta Mudaya) dan Boedi Sampoerna, salah seorang penerus keluarga Sampoerna, yang menyimpan trilyunan rupiah di bank itu sejak 1998. Sebelum Bank Century diambilalih oleh LPS, Boedi Sampoerna, seorang cucu pendiri pabrik rokok PT HM Sampoerna, Liem Seng Thee, masih memiliki simpanan sebesar Rp 1.895 milyar di bulan November 2008, sedangkan simpanan Hartati Murdaya sekitar Rp 321 milyar. Keduanya sama‐sama penyumbang logistik SBY dalam Pemilu lalu. Beberapa depositan kelas kakap lainnya adalah PTPN Jambi, Jamsostek, dan PT Sinar Mas. Boedi Sampoerna sendiri, masih sempat menyelamatkan sebagian depositonya senilai US$ 18 juta, berkat bantuan surat‐surat rekomendasi Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri waktu itu, Komjen (Pol) Susno Duadji, tanggal 7 dan 17 April 2009 (Rusly 2009: 48; Haque 2009; Inilah.com, 25 Febr. 2009; Antara News, 10 Ag. 2009; Vivanews.com, 14 Sept. 2009; Forum Keadilan, 29 Nov. 2009: 14).

(CANTUMKAN)
SURAT REKOMENDASI BARESKRIM MABES POLRI, KOMJEN (POL) SUSNO DUADJI, TERTANGGAL 7 DAN 17 APRIL 2009 BANTUAN GRUP SAMPOERNA UNTUK HARIAN JURNAS

Apa relevansi informasi ini dengan keluarga Cikeas? Boedi Sampoerna ditengarai menjadi “salah seorang penyokong SBY, termasuk dengan menerbitkan sebuah koran” (Rusly 2009: 48). Ada juga yang mengatakan” Sampoerna sejak beberapa tahun lalu mendanai penerbitan
salah satu koran nasional (Jurnas/Jurnal Nasional) yang menjadi corong politik Partai SBY” (Haque 2009). Dugaan itu tidak 100% salah, tapi kurang akurat. Untuk itu, kita
harus mengenal figur‐figur keluarga Sampoerna yang memutar roda ekonomi keluarga itu, setelah penjualan 97% saham PT HM Sampoerna kepada maskapai transnasional AS, Altria Group, pemilik pabrik rokok AS, Philip Morris, di tahun 2005, seharga sekitar US$ 2 milyar atau Rp 18,5 trilyun. Liem Seng Tee, yang mendirikan pabrik rokok itu di tahun 1963 bersama istrinya, Tjiang Nio, mewariskan perusahaan itu kepada anaknya, Aga Sampoerna (Liem Swie Ling), yang lahir di Surabaya tahun 1915. Aga Sampoerna kemudian menyerahkan perusahaan itu kepada dua orang anaknya, Boedi Sampoerna, yang lahir di Surabaya, tahun 1937, serta adiknya, Putera Sampoerna, yang lahir di Amsterdam, 13 Oktober 1947 (PDBI 1997: A‐789 – A‐796; Warta Ekonomi, 18‐31 Mei 2009: 43, 49).
Sesudah menjual pabrik rokoknya kepada Philip Morris, Putera menyerahkan pengelolaan perusahaan pada anak bungsunya, Michael Joseph Sampoerna, yang telah mengembangkan holding company keluarga yang baru, Sampoerna Strategic, ke berbagai bidang dan negara. Misalnya, membeli 20% saham perusahaan asuransi Israel, Harel Investment Ltd dan
saham dalam kasino di London, dan berencana membuka sejuta hektar kelapa sawit di Sulawesi, berkongsi dengan kelompok Bosowa milik Aksa Mahmud, ipar Jusuf Kalla (Investor, 21 Ag.‐3 Sept. 2002: 19; Prospektif, 1 April 2005: 48; Globe Asia, Ag. 2008: 52‐53, Ag. 2009: 100‐101).

Namun ada seorang kerabat Boedi dan Putera Sampoerna, yang tidak pernah memakai nama keluarga mereka. Namanya Sunaryo, seorang kolektor lukisan yang kaya raya, yang mengurusi pabrik kertas Esa Kertas milik keluarga Sampoerna di Singapura yang hampir bangkrut, dan sedang bermasalah dengan Bank Danamon. Menurut sumber‐sumber penulis, sejak pertama terbit tahun 2006, Sunaryo mengalirkan dana Grup Sampoerna ke PT Media Nusa Perdana, penerbit harian Jurnal Nasional di Jakarta. Perusahaan itu kini telah berkembang menjadi kelompok media cetak yang cukup besar, dengan harian Jurnal Bogor, harian Jurnal Bogor, majalah bulanan Arti, dan majalah dwimingguan Eksplo. Boleh jadi, dwimingguan ini merupakan sumber penghasilan utama perusahaan penerbitan ini, karena penuh iklan dari maskapai‐maskapai migas dan alat‐alat berat penunjang eksplorasi migas dan mineral. Secara tidak langsung, dwi‐mingguan Explo dapat dijadikan indikator, sikap Partai Demokrat – dan barangkali juga, Ketua Dewan Pembinanya – terhadap kebijakan‐kebijakan negara di bidang ESDM. Misalnya dalam pendirian pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), yang tampaknya sangat dianjurkan oleh Redaksi Explo (lihat tulisan Noor
Cholis, “PLTN Muria dan Hantu Chernobyl”, dalam Explo, 16‐31 Oktober 2008, hal. 106, serta berita tentang PLTN Iran yang siap beroperasi, September lalu dalam Explo, 1‐15 April 2009, hal. 79).

Pemimpin Umum harian Jurnas berturut‐turut dipegang oleh Asto Subroto (2006‐2007), Sonny (hanya beberapa bulan), dan N. Syamsuddin Ch. Haesy (2007 sampai sekarang). Kedua pemimpin umum pertama bergelar Doktor dari IPB, dan termasuk pendiri Brighton Institute bersama SBY. Selama tiga tahun pertama, ada dua orang fungsionaris PT Media Nusa Perdana yang diangkat oleh kelompok Sampoerna, yakni Ting Ananta Setiawan, sebagai Pemimpin Perusahaan, dan Rainerius Taufik sebagai Senior Finance Manager atau Manajer Utama Bisnis. Dalam Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) Besar PT Media Nusa Perdana, yang dikeluarkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi DKI Jakarta 5 Maret 2007, namanya tercantum sebagai Direktur merangkap pemilik dan penanggungjawab. Sementara itu, kesan bahwa perusahaan media ini terkait erat dengan Partai Demokrat tidak dapat dihindarkan, dengan duduknya Ramadhan Pohan, Ketua Bidang Pusat Informasi BAPPILU Partai Demokrat sebagai Pemimpin Redaksi harian Jurnal Nasional dan majalah
Arti, serta Wakil Ketua Dewan Redaksi di majalah Eksplo. Sebelum menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Jurnas, Ramadhan Pohon merangkap sebagai Direktur Opini Publik & Studi Partai Politik Blora Center, think tank Partai Demokrat yang mengantar SBY ke kursi
presidennya yang pertama. Barangkali ini sebabnya, kalangan pengamat politik di Jakarta mencurigai bahwa dana kelompok Sampoerna juga mengalir ke Blora Center. Soalnya, sebelum Jurnas terbit, Blora Center menerbitkan tabloid dwi‐mingguan Kabinet, yang menyoroti kinerja anggota‐anggota Kabinet Indonesia Bersatu. Sementara itu, Ramadhan
Pohan baru saja terpilih menjadi anggota DPR‐RI dari Fraksi Demokrat, mewakili Dapil VII Jawa Timur (Jurnalnet.com, 25 Febr. 2005; Fajar, 21 Juni 2005; ramadhanpohan.com, 14 Okt. 2009).

Kembali ke kelompok Jurnas dan hubungannya dengan Grup Sampoerna, di tahun 2008, Ting Ananta Setiawan mengundurkan diri dari jabatan Pemimpin Perusahaan, yang kini dirangkap oleh Pemimpin Umum, N. Syamsuddin Haesy. Namun nama Ananta Setiawan tetap tercantum sebagai Pemimpin Perusahaan, sebagai konsekuensi dari SIUP PT Media Nusa Perdana. Mundurnya Ananta Setiawan secara de facto terjadi seiring dengan mengecilnya saham Sampoerna dalam perusahaan media itu, dan meningkatnya peranan Gatot Murdiantoro Suwondo
sebagai pengawas keuangan perusahaan itu. Isteri Dirut BNI ini, dikabarkan masih kerabat Ny. Ani Yudhoyono (McBeth 2007). Berapa besar dana yang telah disuntikkan Grup Sampoerna ke kelompok Jurnas? Menurut SIUP PT Media Nusa Perdana yang diterbitkan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi DKI Jakarta, 5 Maret 2007, nilai modal dan kekayaan bersih perusahaan itu sebesar Rp 3 milyar. Namun jumlah itu, hanya cukup untuk sebulan menerbitkan harian Jurnal Nasional, yang biaya cetak, gaji, dan biaya‐biaya lainnya kurang lebih Rp 2 milyar sebulan. Berarti biaya penerbitan tahun pertama
(2006), sekitar Rp 24 milyar. Tahun kedua (2007), turun menjadi sekitar Rp 20 milyar, setelah koran dan majalah‐majalah terbitan PT Media Nusa Perdana mulai menarik langganan dan iklan. Tahun ketiga (2008), sekitar Rp 18 milyar, dan tahun keempat (2009) sekitar Rp 15 milyar.

Berarti kelompok media cetak ini telah menyedot modal sekitar Rp 90 milyar, mengingat Jurnal Bogor menyewa kantor sendiri di Bogor, dan punya rencana untuk berdiri sendiri, dengan perusahaan penerbitan sendiri. Selain biaya cetak yang tinggi untuk seluruh Grup Jurnas, pos gaji wartawan kelompok media ini tergolong cukup tinggi. Gaji pertama
wartawan Jurnas tahun 2006 mencapai Rp 2,5 juta sebulan, tiga kali lipat gaji wartawan baru Jawa Pos Group. Kecurigaan masyarakat bahwa keluarga Sampoerna tidak hanya
menanam modal di kelompok media Jurnal Nasional, tapi juga di simpulsimpul kampanye Partai Demokrat yang lain, yang juga disalurkan lewat Bank Century, bukan tidak berdasar. Soalnya, Laporan Keuangan PT Bank Century Tbk Untuk Tahun Yang Berakhir Pada Tanggal‐Tanggal 30 Juni 2009 dan 2008 menunjukkan bahwa ada penarikan simpanan fihak ketiga sebesar Rp 5,7 trilyun. Selain itu, Ringkasan Eksekutif Laporan Hasil investigasi BPK atas Kasus PT Bank Century Tbk tertanggal 20 November 2009 menunjukkan bahwa Bank Century telah mengalami kerugian karena mengganti deposito milik Boedi Sampoerna yang dipinjamkan atau digelapkan oleh Robert Tantular dan Dewi Tantular sebesar US$ 18 juta – atau sekitar Rp 150 milyar ‐‐dengan dana yang berasal dari
Penempatan Modal Sementara LPS.

PEMANFAATAN PSO LKBN ANTARA UNTUK BRAVO MEDIA CENTER:

Kemudian, sudah ada preseden bahwa dana publik dialihkan untuk biaya kampanye Partai Demokrat dan calon presidennya. Hal ini timbul, dimana ada perangkapan jabatan antara kader Partai Demokrat, khususnya yang duduk di dalam berbagai tim sukses, dengan jabatan komisaris atau fungsionaris badan‐badan usaha milik negara (BUMN) tertentu. Misalnya dalam kasus Rully Ch. Iswahyudi yang selain menjadi Direktur Komersial
& IT Perum LKBN Antara, juga ikut mengelola Bravo Media Center. Mantan direktur Blora Center dalam Pemilu 2004 dan mantan Wakil Pemimpin Umum Harian Jurnal Nasional itu masih tercantum namanya sebagai Staf Khusus Bappilu Partai Demokrat, menurut situs resmi Partai Demokrat, 10 Juli 2009. Juga, sampai dengan 1 April lalu, namanya masih
tercantum sebagai Direktur Media Center Barindo (Barisan Indonesia) (Gatra, 1 April 2009: 17). Padahal Barindo, yang ditokohi oleh Akbar Tanjung, adalah salah satu jejaring militan pendukung SBY (lihat Lampiran I). Lalu, adalah kontribusi finansial Rully bagi kampanye Capres dan Cawapres SBY‐Boediono? Ada. Bersama CEO LKBN Antara, Dr. Akhmad Muchlis Jusuf, separuh dari dana PSO (Public Service Obligation) LKBN Antara yang berjumlah Rp. 40,6 milyar ke Bravo Media Center, salah satu tim kampanye SBY‐Boediono.

PSO untuk LKBN Antara itu merupakan bagian dari alokasi PSO untuk empat BUMN – PELNI, PT Kereta Api Indonesia (KAI), LKBN Antara, dan PT Pos – sebesar Rp 1,7 trilyun yang disetujui oleh DPR‐RI, akhir 2008. Pengalihan separuh dana PSO LKBN Antara untuk Bravo
Media Center ini menimbulkan ketegangan di dalam kantor berita itu. Barangkali, karena rasa tanggungjawab yang besar, serta susahnya mencari pekerjaan, tidak ada karyawan LKBN Antara yang keluar, namun informasi ini sudah sempat merembes ke luar. Nah, kalau pengalihan sebagian uang rakyat untuk ‘dana siluman’ kampanye SBY‐Boediono – karena tidak dilaporkan ke KPU ‐‐, bagaimana dengan uang rakyat yang dititipkan pada badan‐Badan Usaha Milik Negara yang lain, di mana pejabatnya juga menjadi anggota tim sukses SBY‐Boediono? Baik yang terdaftar, maupun yang tidak terdaftar? = Bagaimana dengan dana PSO yang dialokasikan untuk PT KAI, yang komisarisnya, Yahya Ombara, juga menjadi anggota tim sukses SBYBoediono, sebelum ditarik, 10 Juni lalu? = Bagaimana dengan dana PSO yang dialokasikan untuk PT Pos, yang komisarisnya, Andi Arief, menjadi anggota Jaringan Nusantara? = Bagaimana dengan transparansi dana BUMN lain, yang komisarisnya juga anggota Jaringan Nusantara, seperti Aam Sapulete (PTPN VII, Lampung), Herry Sebayang (PTPN III, Sumut), dan Syahganda Nainggolan (PT PELINDO, yang mengelola pelabuhan Tanjung Priok, termasuk pelabuhan peti kemasnya)? Pengalihan dana melalui Bank Century, LKBN Antara, atau korporasi‐korporasi lain, terdorong oleh gencarnya usaha SBY serta para pendukungnya, untuk memastikan pemilihannya kembali untuk masa
jabatan kepresidenan yang kedua dan terakhir, sehingga terbukti jumlah pemilih Partai Demokrat telah melonjak hampir tiga kali lipat dari 7 % dalam Pemilu legislatif tahun 2004 menjadi sekitar 20% dalam Pemilu legislatif 2009.

YAYASAN‐YAYASAN YANG BERAFILIASI KE SBY:

Selain melalui lebih dari selusin tim kampanye (lihat Lampiran 1), penggalangan dukungan politis dan ekonomis bagi SBY dimotori oleh yayasan‐yayasan yang berafiliasi ke SBY dan ke Ny. Ani Yudhoyono. Selanjutnya, yayasan‐yayasan yang berfungsi sebagai bagian dari strategi public relationship keluarga Yudhoyono, ternyata tidak luput dari usaha penggalangan dana bagi perusahaan‐perusahaan lama dan baru, yang kemungkinan besar juga menyumbangkan sebagian keuntungannya untuk biaya kampanye Partai Demokrat dan calon presidennya. Antara tahun 2005‐2006, telah didirikan dua yayasan yang berafiliasi ke SBY, yakni Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam yang didirikan tahun 2005 dan berkantor di Tebet, Jakarta Selatan , tapi selalu menyelenggarakan kegiatan‐kegiatan dzikirnya di Masjid Baiturrahim di Istana Negara; serta Yayasan Kepedulian Sosial Puri Cikeas, disingkat Yayasan Puri Cikeas, yang didirikan tanggal 11 Maret 2006 di kompleks perumahan Cikeas Indah (lihat Lampiran 2: Susunan Pengurus Yayasan
Puri Cikeas). Kedua yayasan itu melibatkan sejumlah menteri (ada yang sekarang mantan menteri, seperti ), sejumlah perwira tinggi, sejumlah pengusaha, serta anggota keluarga besar SBY. Edhi Baskoro Yudhoyono, putra bungsu SBY dan Ny. Ani Yudhoyono, sebagai salah seorang Sekretaris Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam, dan Hartanto Edhie Wibowo, adik bungsu Ny. Ani Yudhoyono (lihat Box II: Dinasti Sarwo Edhie Wibowo) sebagai
salah seorang bendahara.

(CANTUMKAN)
BOX II: DINASTI SARWO EDHIE WIBOWO

Menjelang Pemilu 2009, yayasan penopang kekuasaan SBY bertambah satu: Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian (KdK), yang dipimpin oleh Arwin Rasyid. Empat orang anggota Dewan Pembinanya sudah masuk ke dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II, yakni Djoko Suyanto, Purnomo Yusgiantoro, Sutanto, dan MS Hidayat (lihat
Lampiran 3a: Visi, Misi, dan Struktur Pengurus YKDK). Yayasan ini dikelola oleh orang‐orang yang punya banyak pengalaman di bidang perbankan. Ketua Umumnya, Arwin Rasyid, Presiden Direktur CIMB Bank Niaga, sedangkan Bendahara Umumnya, Dessy Natalegawa. Dessy adalah adik kandung Menlu Marty Natalegawa yang sudah diproyeksikan akan diangkat menjadi Menlu dalam KIB II (Gatra, 28 Okt. 2009: 16). Mereka tidak perlu lagi bingung memikirkan penggalangan dana (fund raising ) bagi yayasan ini, yang telah mendapat kucuran dana sebesar US$ 1 juta dari Djoko Soegiarto Tjandra, pemilik Bank Bali dan buron kelas kakap BLBI (Vivanews, 2 Okt. 2009; Mimbar Politik, 7‐14 Okt. 2009: 10‐11).

Yayasan Puri Cikeas, Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam, dan Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian punya beberapa ciri yang sama. Ketiga yayasan itu tidak dipimpin oleh SBY sendiri, tapi oleh orang‐orang dari inner circle nya. Pola operasinya sama: memadu kedermawanan dengan mobilisasi dukungan politik dan ekonomi. Sejumlah perusahaan
pendukung ketiga yayasan itu bukannya tidak mengharapkan keuntungan. Padahal, jangkauan kedermawanan ketiga yayasan itu membutuhkan dana yang sangat besar. Lagi pula, hasil auditing ketiga yayasan itu oleh auditor publik yang betul‐betul independen, belum
pernah dilaporkan ke parlemen dan ke media massa. Soalnya, ketiga yayasan itu melibatkan sejumlah Menteri dan staf harian Presiden, serta menguasai dana milyaran rupiah. Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam tadinya melibatkan tiga orang Menteri (Hatta Rajasa, Sudi Silalahi, dan M. Maftuh Basyuni, yang tadinya Menteri Agama) sebagai Pembina, serta Brigjen Kurdi Mustofa, Sekretaris Pribadi Presiden SBY, sebagai Pengawas. Kegiatan yayasan ini telah menelan dana yang sebagian mungkin berasal dari anggaran negara. Misalnya, dana untuk kegiatan zikir dan doa di Masjid Baiturrahim di Kompleks Istana Negara di akhir 2007 dan 2008, yang diikuti antara 3000 dan 4000 jemaah,
yang selesai berdoa, diundang makan malam di Istana Negara (Kompas, 31 Des. 2007; Tempo, 13 Jan. 2008: 34).Biaya makan malam ribuan jemaah zikir itu mungkin dapat diambil
dari anggaran rutin kepresidenan yang telah disetujui oleh DPR‐RI. Tapi bagaimana dengan biaya ibadah umroh bagi lima rombongan ulama a 50 orang yang disponsori oleh yayasan ini, di mana setiap orang menelan biaya seribu real (Antara News, 16 Sept. 2008; Masayok 2008; website majelis dzikir)? Boleh jadi, selain dari uang rakyat, melalui anggaran kepresidenan, pembiayaan yayasan ini dibantu oleh kedua orang bendaharanya. Selain Hartanto, ada bendahara lain, yakni Aziz Mochdar, mitra bisnis Bambang Trihatmodjo dan adik Muchsin Mochdar, ipar mantan Presiden B.J. Habibie. Selain itu, Aziz juga mitra Gunawan Yusuf, pemilik Sugar Group Company (SGC) yang sedang berkonflik dengan Anthony Salim tentang kepemilikan sejumlah perkebunan tebu di Lampung (Aditjondro 2003: 94; Tempo, 13 Mei 2008; Mahkamah, 15 April 2009: 28‐29; Gatra, 1 April 2009: 68‐ 69).

Dibandingkan dengan Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam, Yayasan Puri Cikeas melibatkan lebih banyak pejabat, purnawirawan perwira tinggi, dan pengusaha. Ketua Dewan Pembinanya adalah Jero Wacik, Menteri Pariwisata dan Kebudayaan, pemilik tiga perusahaan yang bergerak di bidang hotel, biro perjalanan, bidang interior, dan disain
tekstil, yakni PT Griya Batu Bersinar, PT Pesona Boga Suara, dan PT Putri Ayu (Sriwijaya Post, 8 Sept. 2009; Warta Ekonomi, 16‐29 Nov. 2009: 49). Selain Menteri tadi, sejumlah mantan perwira tinggi terlibat di Yayasan Puri Cikeas. Ketua dan anggota Dewan Penasehat yayasan ini adalah mantan KSAD Jenderal (Purn.) Subagyo H.S., Komjen (Pol) Didi Widayadi, dan Mayjen TNI Bambang Sutedjo. Sedangkan Ketua Umum dan Wakil Ketua Umum Pengurus adalah Marsekal Madya (Purn.) Suratto Siswodihardjo, mantan Ketua INKOPAU, dan mantan Wakil Ketua MPRRI Letjen (Purn.) Agus Widjojo. Subagyo HS dan Agus Widjojo tetangga SBY di kompleks Cikeas Indah itu (Detiknews, 24 Sept. 2004).
Para pebisnis yang namanya tercantum di struktur organisasi yayasan ini adalah Jero Wacik, yang sudah disebut di depan; Sofyan Basir, Dirut Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan mantan Dirut Bank Bukopin; Anton Sukartono, putra Suratto Siswodiharjo yang juga Wakil Bendahara DPP Partai Demokrat dan CEO PT Bakrie Building Industries, anak
perusahaan Bakrie & Brothers; Glen Glenardi, Direktur Utama Bukopin; Sukamdani Sahid Gitosarjono, pemimpin dan pemilik Sahid Group, serta anaknya, Hariadi Budi Sukamdani; Tanri Abeng dan anaknya, Emil Abeng, Presiden PT Walinusa Energi yang bergerak di bidang
pertambangan batubara serta pembangunan pembangkit‐pembangkit tenaga listrik dan pipa‐pipa gas alam (Aditjondro 2003: 24‐5; Tempo, 13 Mei 2008, 2 Febr. 2009; Antara, 12 April 2006; Lampung Post, 1 Juni 2006; Sriwijaya Post, 8 Sept. 2009; Warta Ekonomi, 16‐29 Nov. 2009: 49; Bank Bukopin 2002; website Yayasan Puri Cikeas; website Partai Demokrat). Jangan lupa, Ketua Umum yayasan ini, Suratto Siswodihardjo, juga seorang pebisnis, setelah berkarier di bidang kemiliteran dan politik. Lahir di Solo tahun 1946, lulusan AKABRI Udara di Yogyakarta (1969) dan Sarjana Sosial Universitas Jakarta (1992) menjabat sebagai Kasi Sospol Mabes AU (1990‐1992), anggota DPRD‐DKI dari Fraksi ABRI dan Ketua INKOPAU (1998‐2001). Tahun 1998, Suratto menjadi komisaris PT Sweet
Indo Lampung dan PT Indo Lampung Perkasa (1998‐2000) yang waktu itu masih milik Anthony Salim; anggota Dewan Audit Bank Bukopin ( 2006‐ 2007) dan komisaris Bank Bukopin (2001‐2002); komisaris PT Prosys Engineering International (2005); dan komisaris PT Angkasa Pura II (2006‐ 2007) yang mengelola bandara‐bandara di Jakarta, Medan, Palembang, Banda Aceh, dan Pontianak (Angkasa Pura II 2007: 3, 15; Bank Bukopin
2002, 2006; Mahkamah, 15 April 2009: 28‐29).

Dengan modal yang telah terkumpul dari berbagai usahanya, Suratto membeli tanah seluas 25 hektar di Desa Cikeas, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor, waktu masih berharga Rp. 5000 per meter persegi tahun 1995. Tanah itu kemudian dikapling‐kapling, masing‐masing seluas seribu meter persegi, dan tahun berikutnya ditawarkan kepada sejumlah perwira tinggi di jajaran Hankam seharga Rp 35 ribu per meter persegi. Sejumlah
jenderal membelinya, termasuk SBY, yang langsung membeli empat kapling, yang sekarang sudah bernilai Rp 1,5 hingga Rp 2 juta per meter persegi. Suratto membangun rumahnya bersamaan dan berseberangan dengan SBY tahun 1997. Jadi boleh dikata, Suratto adalah seorang pengembang yang berhasil, yang berkepentingan untuk mempertahankan SBY menjadi Presiden untuk periode keduanya, supaya harga tanah di kompleks Cikeas Indah semakin mahal (Detiknews, 24 Sept. 2004; Tempo, 21 Juni 2009: 28, 21 Juni 2009: 28; Harian Komentar, 27 Ag. 2007). Boleh jadi, mereka ikut menyumbang kegiatan Yayasan Puri Cikeas,
yang bergerak dalam penyelenggaraan Sekolah Alam Cikeas, penanggulangan bencana alam di DIY dan Jawa Tengah, warung murah, dan berbagai bentuk bantuan sosial, terutama buat penduduk pedesaan sekitar Cikeas. Sedangkan untuk bantuan pengobatan gratis, ada klinik
keliling, gagasan Ny. Ani Yudhoyono (Harian Komentar, 27 Ag. 2007; Radar Bogor, 16 Ag. 2009). Sejauh tidak menggunakan uang rakyat, dan murni dibiayai oleh pengusaha swasta, tidak ada masalah. Namun karena Sofyan Basir, Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI) adalah Wakil Ketua Dewan Pembina Yayasan Puri Cikeas, keuangan yayasan ini perlu diaudit dan dilaporkan ke parlemen, mengingat BRI merupakan BUMN. Secara khusus, para nasabah Bank Bukopin juga berkepentingan mengetahui laporan keuangan yayasan ini, sebab dirut Bank Bukopin, Glen Glenardi, adalah ketua Badan Pengawas yayasan ini. Padahal ketua umum yayasan ini, Suratto Siswodiharjo, pernah menjadi Komisaris (2001‐ 2002), kemudian anggota Tim Audit Bank Bukopin (2006‐2007).

Walaupun Bukopin itu sendiri sudah badan usaha swasta, pemegang sahamnya termasuk koperasi‐koperasi pegawai negeri sipil (PNS), polisi, dan tentara. Suratto Siswodiharjo sendiri, masuk ke lingkungan Bukopin, karena ia pernah menjabat sebagai Ketua Induk Koperasi Angkatan Udara (INKOPAU). Dengan demikian dapat dikatakan, Bukopin mengelola
sejumlah uang rakyat yang telah dibayarkan sebagai gaji pegawai negeri sipil, polisi, dan tentara.

KAITAN YAYASAN‐YAYASAN TERSEBUT DI ATAS DENGAN BISNIS KELUARGA CIKEAS:

Namun yang paling penting, keuangan ketiga yayasan itu perlu diaudit dan dilaporkan ke parlemen dan media, karena dua orang anggota keluarga besar SBY dan Ny. Ani Yudhoyono, yakni Hartanto Edhi Wibowo, adik bungsu Ny. Ani Yudhoyono dan Edhi Baskoro Yudhoyono,
putra bungsu SBY dan Ny. Ani Yudhoyono, yang sudah terjun dalam bisnis keluarga Cikeas, memegang jabatan‐jabatan strategis di Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam, masing‐masing sebagai bendahara dan sekretaris. Menariknya, Hartanto Edhie Wibowo, punya ikatan bisnis dengan adik dari M. Hatta Rajasa, Pembina Yayasan Majelis Dzikir SBY
Nurussalam, melalui PT Power Telecom (Powertel). Hartanto adalah Komisaris Utama perusahaan itu, sementara adik Hatta Rajasa, Achmad Hafisz Tohir, salah seorang direkturnya, pakar telematika Roy Suryo Notodiprojo komisaris independen, sedangkan Dicky Tjokrosaputro, salah seorang pewaris Batik Keris, direktur utama PT Powertel. Waktu Hatta Rajasa jadi Menteri Perhubungan, Powertel mendapat proyek telekom serat optik dari PT KAI Tempo Interaktif, 27 April 2009; Warta Ekonomi, 15‐28 Juni 2009: 56; Indonesia Monitor, 7 & 14 April 2009; www.selular.co.id, 2 Juli 2008;
www.jakartapress.com, 4 Agustus 2008).

(CANTUMKAN)
FOTO DICKY TJOKROSAPUTRO, DIREKTUR UTAMA PT POWERTEL

PowerTel yang berkantor pusat di Jakarta, dengan enam kantor cabang di Pulau Jawa, mendapat berbagai proyek di lingkungan PT Kereta Api Indonesia (KAI) sewaktu Hatta Rajasa masih menjabat sebagai Menteri Perhubungan, yakni pembangunan double track jurusan Tanah Abang‐ Serpong bernilai Rp 333 milyar; pengadaan 16 unit kereta api listrik (KRL) bekas dari Jepang bernilai Rp 44,5 milyar; serta pengadaan jaringan serat
optik di kawasan Jakarta, Bandung, dan Surabaya, dengan memanfaatkan jaringan rel PT KAI (idem). Ironisnya, berbagai proyek itu merupakan rekomendasi Proyek Efisiensi Perkeretaapian (PEP) PT KAI, yang dibiayai dengan hutang US$ 85 juta dari Bank Dunia. Rekomendasi itu ditindaklanjuti dengan hutang 41 milyar Yen dari pemerintah Jepang melalui JBIC (Japan Bank for International Cooperation) untuk pembangunan rel double track dan pembelian gerbong‐gerbong bekas dari Jepang, serta hutang US$ 194,88 juta dari pemerintah RRT untuk pembangunan rel double track antara Yogyakarta dan Kutoarjo (Nikmah & Wijiyati 2008: 1, 13‐4). Dengan kata lain, perusahaan kongsi keluarga Tjokrosaputro, Hatta Rajasa, dan Hartanto Edhie Wibowo mengambil keuntungan dari
akumulasi hutang Republik Indonesia kepada Bank Dunia serta pemerintah Jepang dan RRT, sewaktu Hatta Rajasa menjabat sebagai Menteri Perhubungan. Kalau begitu, apakah SBY – siapapun wakil presidennya – dapat menyangkal bahwa ia menganut pola ekonomi neoliberalis, yang mendahulukan kepentingan modal besar ketimbang kepentingan rakyat?
Pencatatan saham PowerTel dilakukan 18 September 2008, dengan PT BNI Securities sebagai penjamin. Timbul pertanyaan: apakah faktor perkerabatan antara pelaku‐pelaku bisnis itu dengan keluarga Cikeas, ikut mempermulus hubungan antara PowerTel dengan BNI Securities?
Soalnya, Gatot Mudiantoro Suwondo, yang menjadi Dirut BNI sejak 6 Februari 2008, setelah sebelumnya menjadi direktur bank syariah Bank Danamon, masih kerabat Ny. Ani Yudhoyono, dari fihak isterinya (McBeth 2007; Tribun Batam, 7 Febr. 2008;
www.liputan6.com/ekbis/?id=15450, 6 Febr.2006).

Ternyata, ada aspek lain di balik perkongsian Dicky Tjokrosaputro dengan keluarga SBY dan Hatta Rajasa, yakni mencari perlindungan terhadap tekanan Bank Mandiri. Soalnya, melalui PT Hanson International Tbk yang bergerak di bidang pertambangan batubara, tiga bersaudara Benny, Teddy, dan Dicky Tjokrosaputro, masih berhutang Rp 152,5 milyar
kepada Bank Mandiri, yang hanya bagian kecil dari hutang kelompok PT Suba Indah Tbk sebesar Rp. 1,28 trilyun kepada bank itu. Kata Abdul Rachman, Direktur Special Asset Management Bank Mandiri, meskipun salah satu debitur Suba Indah ada yang terkait dengan keluarga Cikeas, Bank Mandiri tidak akan mundur dalam menagih utang. “Suba Indah
harus dikejar lagi. Utangnya masih besar, masih banyak. Ya tentu kami masih tagih terus. Kami akan kejar dengan cara apapun”, ujar Abdul Rachman (Warta Ekonomi, 2‐15 Nov. 2009: 69‐70; www.jakartapress.com, 4 Agustus 2008).

Kembali ke PT Powertel, boleh jadi, tidak ada hubungan bisnis khusus antara Gatot Mudiantoro Suwondo dengan Hartanto Edhie Wibowo. Sementara itu, adik bungsu Ny. Ani Yudhoyono itu juga dipercayai memangku berbagai jabatan penting dalam Partai Demokrat,
sebagai Ketua Departemen BUMN. Sedangkan putra bungsu SBY, Edhie Baskoro Yudhoyono yang akrab dipanggil “Ibas”, dipercaya oleh ayah dan pamannya, Hadi Utomo, Ketua Umum DPP Partai Demokrat, menjadi Ketua Departemen Kaderisasi DPP Partai Demokrat. Ibas juga ikut Center for Food, Energy, and Water Studies (CFEWS), lembaga, yang digagas Heru Lelono, staf khusus Presiden SBY, yang pernah bikin heboh dengan “Enerji Biru” dan padi Super Toy (Tempo Interaktif, 3 Nov. 2008).Ibas juga sudah terjun ke dunia bisnis, khususnya ke produksi kue kering, dengan menjadi Asisten Direksi PT Gala Pangan, menurut situs kpu.go.id. Untuk mengetahui riwayat bagaimana ia mulai terjun ke bisnis
itu, bacalah Box I berikut:
‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐
BOX I: KISAH IBAS DAN BISNIS KUE KERINGNYA

EDHIE Baskoro Yudhoyono baru selesai menempuh pendidikan diplomanya di Curtin University of Technology, Perth, Western, Australia, 26 Februari 2005, ketika keluarga Cikeas menggelar rapat keluarga untuk membahas masa depan putra bungsu SBY itu. Materi
pembicaan seputar keinginan Ibas ‐‐ demikian sapaan lajang kelahiran Bandung, 24 November 1980 itu ‐‐ untuk menerapkan dua gelar diploma yang diraihnya selama tujuh tahun, Bachelor of Commerce Finance dan Electronic Commerce, ke dunia kerja. Namun, pembicaraan yang berlangsung serius tapi santai itu menemui jalan buntu. Posisi SBY
sebagai presiden membuat mereka kesulitan mencari kata temu untuk menentukan bisnis apa
yang cocok untuk Ibas. SBY dan anak‐istrinya tentu tidak bisa sembarangan melakukan bisnis. “SBY sangat memahami hal itu,” ujar sumber di lingkungan keluarga Cikeas kepada Indonesia Monitor, pekan lalu. Alhasil, obrolan keluarga yang diselingi hidangan singkong goreng, jajanan pasar, dan teh manis itu pun tidak menghasilkan putusan apapun. Sebagai kepala keluarga, SBY berusaha membesarkan hati putra kesayangannya itu. “Nggak usah buru‐buru. Insya Allah, nanti pasti akan ada jalan,” ujar SBY, seperti diungkapkan sumber.

Hingga suatu hari, masih menurut sumber, kegalauan keluarga Cikeas itu sampai ke telinga
seorang konglomerat pemilik usaha food manufacture, salah satu produknya adalah kopi bubuk kemasan merek terkenal. Selama ini, pengusaha keturunan itu sudah kenal dekat dengan keluarga Cikeas. “Dia menawarkan diri untuk mendidik Ibas berbisnis,” ungkapnya. Ibas dan ‘suhu bisnisnya’ sepakat memproduksi biskuit dengan merek dagang Bisco di bawah bendera PT Gala Pangan. Setelah itu, mereka mencari lokasi pabrik. Yang dipilih sebagai basis usahanya adalah kawasan industri Jababeka 2, Cikarang, Bekasi, Jawa barat, sekitar 35 km arah timur Jakarta, tepatnya di Jalan Industri IV Blok PP‐3.
Menurut sumber, lokasi PT Gala Pangan berada di bagian belakang kawasan industri Jababeka. Jalanan masuk ke lokasi dulunya rusak parah. “Namun, setelah tahu di situ dibangun pabrik milik Ibas, pihak pengelola Jababeka langsung meng‐hotmix jalan menuju kawasan tersebut,” tuturnya. Tak hanya aspal hotmix. Sesuai kebutuhan, pabrik dengan omzet 1‐2,5 juta dolar AS itu membutuhkan gas LPG dalam jumlah banyak untuk mengaktifkan pengovenan. Saat itu, pipa gas LPG belum masuk kawasan itu. “Tak selang lama, pipa gas dibangun masuk ke kawasan tersebut,” ujarnya. Kini, PT Gala Pangan sudah berproduksi. Dengan memperkerjakan karyawan sebanyak 150 orang, biskuit produk Gala Pangan dilempar ke pasar ekspor, meliputi pasar‐pasar utama di Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa Barat, Eropa Timur, Asia Timur, Asia Tenggara, Afrika, dan Oceania. Ketika Indonesia Monitor berkunjung ke pabrik tersebut, Jumat (12/6) pagi, suasana
masih terlihat sepi. Lokasi PT Gala Pangan cukup mewah dan strategis. Dibanding pabrik-pabrik lain di kawasan tersebut, Gala Pangan tampak istimewa. Pagarnya bagus, halamannya luas, dan bangunan gedungnya terlihat rapi. Terletak di sebuah pertigaan Jalan Industri Selatan IV dan Jalan Industri Selatan V, pabrik Gala Pangan terbagi
dalam tiga bagian utama, yakni di bagian depan untuk kantor, bagian sisi kiri dan kanan untuk produksi dan gudang. Halaman parker cukup luas. Namun, yang paling istimewa adalah saat pabrik tersebut akan dibangun. “Peletakan batu pertama oleh Pak SBY,” ujar seorang sekuriti PT Gala Pangan kepada Indonesia Monitor. Dia menuturkan, pabrik kue tersebut memang milik Ibas. Pada awal‐awal produksi, Ibas sering datang ke pabrik tersebut. Tapi, menurut dia, akhir‐akhir ini Ibas jarang berkunjung. “Pak Ibas sudah lama tidak ke sini.

Sejak maju sebagai caleg, dia jarang ke sini, mungkin sibuk,” ujarnya. Dalam ingatannya, Ibas terakhir datang ke pabriknya sekitar lebaran haji tahun lalu. “Itu pun hanya sebentar,” imbuhnya. Menurut sekuriti yang namanya dirahasiakan, ia tidak tahu mengapa Ibas jarang berkunjung ke pabrik miliknya. “Sepengetahuan saya, Pak Ibas masih menjadi komisaris di sini. Sebab dulu sebelum maju jadi caleg, dia sering datang ke sini, sekarang saja yang agak jarang,” lanjutnya. Keterlibatan Ibas dalam bisnis biskuit secara implisit dibenarkah oleh Staf Khusus Ibu Negara Ani Yudhoyono, Nurhayati Ali Assegaf. Awalnya, Wasekjen Partai Demokrat itu tidak mau mengaku soal bisnis Ibas. “Saya nggak tahu, jujur saya nggak tahu,” ujar Nurhayati kepada Indonesia Monitor, Kamis (11/6). Setelah didesak, akhirnya ia mengakui, meski tidak yakin. “Jujur saya nggak tahu kalau Mas Ibas punya pabrik itu. Saya memang pernah dengar Mas Ibas, kalau nggak salah, berbinis kue kering. Itu kalau nggak salah ya. Tapi, pastinya saya nggak tahu bisnis apa. Yang saya tahu, Mas Ibas di politik,” paparnya. Namun, kalau pun benar berbisnis, menurut Nurhayati, tidak ada salahnya, karena bisnis yang digeluti adalah di sektor swasta dan tidak terlibat kerjasama dengan perusahaan BUMN maupun BUMD. “Apa salahnya anak presiden berbisnis,” gugatnya.

Argumen Nurhayati didukung oleh Sekjen DPP Partai Demokrat Marzuki Alie. Menurutnya,
yang dimaksud larangan berbisnis, seperti yang pernah dilontarkan SBY, adalah berbisnis
dengan mengambil dana APBN. “Itu konkretnya. Kalau ada anak pejabat berbisnis, punya
pabrik, punya industri yang tidak ada kaitannya dengan pemerintah, tidak ada kaitannya
dengan APBN, ya boleh‐boleh saja kan,” ujar Marzuki Alie kepada Indonesia Monitor, selasa (9/6). sumber: Sri Widodo, Moh Anshari http://www.indonesia‐monitor.com/main/index.php?option=com_content&task=view&id= 2473&Itemid=33
‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐
YAYASAN‐YAYASAN YANG BERAFILIASI KE NY. ANI YUDHOYONO:

Bukan hanya SBY, melainkan isterinya, Ny. Ani Yudhoyono, yang aktif membina beberapa yayasan. Yayasan‐yayasan ini diketuai oleh beberapa orang isteri Menteri dan pejabat kenegaraan yang lain, yakni Yayasan Mutu Manikam Nusantara, yang diketuai Ny. Herawati
Wirayuda (isteri Menlu waktu itu); Yayasan Batik Indonesia, yang diketuai oleh Yultin Ginanjar Kartasasmita (isteri Ketua DPD Ginanjar Kartasasmita), dan Yayasan Sulam Indonesia, yang diketuai oleh Ny.Triesna Wacik, isteri Jero Wacik, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, merangkap Ketua Dewan Pembina Yayasan Puri Cikeas. Di antara ketiga yayasan itu yang paling kontroversial adalah Yayasan Mutu Manikam Nusantara. Bukan karena diketuai oleh isteri Menlu waktu itu, tapi karena jabatan Bendaharanya dipegang oleh Artalyta Suryani, yang lebih akrab dengan panggilan “Ayin”. Kedekatan Ayin – yang tertangkap tangan menyogok jaksa Urip Tri Gunawan ‐‐dengan Ani, mengurangi ketegasan KPK dalam membongkar seluruh jejaring korupsi di belakang sang ‘markus’ (makelar kasus), khususnya Syamsul Nursalim, boss Gajah Tunggal, yang terlibat dalam skandal BLBI
yang masih menyisakan kerugian Rp 4,2 trilyun bagi Negara. Ironisnya, Ny. Ani Yudhoyono ‐lah yang meresmikan Alun‐Alun Indonesia milik Syamsul Nursalim, tanggal 29 Oktober 2007 (lihat Lampiran 4: Kemilau Persengkongkolan di Mutu Manikam). Yayasan kedua yang ikut didukung oleh Ny. Ani Yudhoyono adalah Yayasan Batik Indonesia yang diketuai oleh Ny. Yultin Ginanjar Kartasasmita. Dalam berbagai pameran di dalam dan luar negeri yang
(ikut) diselenggarakan oleh yayasan ini, telah menonjol produk perusahaan baru bermerek Allure. Perusahaan baru itu segera mengundang perhatian karena dua hal. Pertama, lebih dari selusin gerai perusahaan itu telah dibuka di Indonesia, Singapura dan Malaysia,
sementara beberapa gerai sedang dirintis di London dan Moskow. Kedua, batik Allure telah mengangkat menantu SBY yang pernah dinobatkan menjadi duta batik Indonesia (Annisa Pohan) dan anaknya (Aira Yudhoyono) sebagai ikon perusahaan itu.

FOTO‐FOTO AIRA YUDHOYONO SEBAGAI IKON ALLURE KIDS & DALAM GENDONGAN IBUNYA, ANNISA POHAN
(CANTUMKAN)

Adanya potensi konflik kepentingan antara Ny. Ani Yudhoyono sebagai pembina yayasan itu, dan perusahaan batik baru yang telah mengorbitkan anak dan cucunya sebagai ikon, belum banyak disorot orang. Termasuk ketika koleksi batik Ny. Ani Yudhoyono dan Ann
Durham, ibunda Presiden AS, Barack Husein Obama di Alun‐Alun Indonesia di Grand Indonesia Shopping Town, 17 November yang lalu. Publik tampaknya juga tidak tahu, bahwa gedung itu milik Gajah Tunggal, salah satu konglomerat yang belum membereskan hutangnya pada Negara, dalam kerangka BLBI (lihat Lampiran 5: Allure meluncur di Alur
Yayasan Batik Indonesia).

FOTO‐FOTO ARTHALYTA DAN ANI YUDHOYONO, ANI YUDHOYONO MERESMIKAN ALUN‐ALUN INDONESIA
& SBY DAN ISTERINYA MENGHADIRI PERNIKAHAN ANAK SYAMSUL NURSALIM

Yayasan ketiga yang didukung oleh Ny. Ani Yudhoyono adalah Yayasan Sulam Indonesia, yang diketuai Ny. Triesna Wacik, isteri Menteri Kebudayaan & Pariwisata, Jero Wacik. Di sini ada juga potensi konflik kepentingan antara keluarga Jero Wacik dengan yayasan itu, dan antara keluarga Wacik dengan keluarga Cikeas. Soalnya, salah satu perusahaan
milik Menbudpar yang juga Ketua Dewan Pembina Yayasan Puri Cikeas, PT Puri Ayu yang berkantor di Bali dan Jakarta, bergerak di bidang disain tekstil. Selain itu, kita juga masih ingat bahwa Jero Wacik adalah Ketua Dewan Pembina Yayasan Puri Cikeas.

FOTO PASANGAN JERO & TRIESNA WACIK

Para pengusaha yang bergerak di bidang produksi dan pemasaran mutu manikam, batik, dan sulaman, dapat ikut menikmati promosi yang dibayar dari uang rakyat, dengan berlindung di bawah ketiga payung yayasan yang berafiliasi ke Ny. Ani Yudhoyono ini. Namun yang paling menimbulkan tanda tanya bagi tokoh‐tokoh masyarakat adalah kedekatan Artalyta Suryani (“Ayin”) dengan Ani Yudhoyono, berkat posisi Artalyta sebagai Bendahara Yayasan Mutu Manikam Nusantara. Soalnya, diduga berkat kedekatan antara Ayin dan Ani, salah seorang taipan besar pengemplang dana BLBI, yakni Syamsul Nursalim, dapat lolos dari jerat hukum, seperti di era Gus Dur maupun Megawati Soekarnoputri (lihat Lampiran 4).
Peranan yayasan‐yayasan yang berafiliasi ke SBY dan Ny. Ani Yudhoyono dalam memobilisasi dukungan politik dan ekonomi untuk pemilihan kembali SBY sebagai Presiden untuk kedua dan terakhir kalinya, membuka jalan bagi berbagai jenis pelanggaran hukum yang dilakukan oleh para pendukungnya. Soalnya, duplikasi anggota pengurus yayasan‐yayasan itu dengan berbagai tim sukses yang tidak secara resmi terdaftar personalia maupun sumber‐sumber pembiayaannya (lihat Lampiran 1), melancarkan jalan bagi penyaluran sumbangan bagi kampanye Pemilu legislatif Partai Demokrat dan Pilpres SBY‐Boediono , melampaui batas‐batas yang diperkenankan oleh Pasal 131 dari UU No.
10/2008, yakni Rp satu milyar rupiah untuk perorangan) dan lima milyar rupiah untuk kelompok, perusahaan dan badan usaha non‐pemerintah.

Maklumlah, pelanggaran terhadap Pasal 131, yang diatur dalam Pasal 276, diancam pidana penjara antara enam sampai 24 bulan, serta denda antara satu sampai lima milyar rupiah.
Kecurigaan itu sangat beralasan, apabila keuangan yayasan‐yayasan itu tidak di‐audit oleh auditor yang independen. Potensi konflik kepentingan antara keuangan publik yang dikelola oleh pemerintah, dan keuangan yayasan‐yayasan itu, barangkali paling besar pada Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian. Soalnya, tiga orang Menteri dan seorang
pejabat setingkat Menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu II merangkap sebagai anggota Dewan Pembina yayasan itu, yakni Djoko Suyanto, Purnomo Yusgiantoro, M.S. Hidayat dan Sutanto. Sedangkan Bendahara yayasan itu dijabat oleh Dessy Natalegawa, adik kandung Menlu Marty Natalegawa. Ketiga yayasan yang dibina oleh Ny. Ani Yudhoyono, yakni Yayasan
Mutu Manikam Nusantara, Yayasan Batik Indonesia, dan Yayasan Sulam Indonesia, juga berpotensi untuk melakukan kegiatan yang tumpang tindih dengan Departemen‐Departemen atau lembaga‐lembaga yang dipimpin – atau pernah dipimpin ‐‐ oleh suami‐suami para ketua yayasanyayasan itu, yaitu Departemen Luar Negeri dalam hal Yayasan Mutu
Manikam Nusantara, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam hal Yayasan Batik Indonesia, dan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, dalam hal Yayasan Sulam Indonesia. Di samping itu, ketua‐ketua yayasan yang dibina oleh Ny. Ani Yudhoyono itu adalah anggota Solidaritas Isteri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB), yang juga dipimpin oleh isteri‐isteri Presiden dan Wakil Presiden. Duplikasi antara kegiatan yayasan dan instansi‐instansi pemerintah, juga sangat berpotensi terjadi pada yayasan‐yayasan yang berafiliasi dengan SBY sendiri, misalnya dengan Departemen Agama, dalam hal
Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam dengan program pengiriman ulama berumroh ke Arab Saudi, serta dengan berbagai Departemen dan Pemerintah Daerah, dalam hal Yayasan Puri Cikeas dan Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian. Itu sebabnya, auditing terhadap
keuangan yayasan‐yayasan itu menjadi semakin penting.Bukan cuma duplikasi, malah dualisme pemerintahan, dapat terjadi apabila yayasan-yayasan ini dibiarkan berkembang dengan bebas, seperti yang telah kita alami di masa kediktatoran Soeharto, dengan seribu satu yayasannya (lihat Aditjondro 2003, Ismawan 2007: 66‐89).

PELANGGARAN‐PELANGGARAN UU PEMILU OLEH CALEGCALEG PARTAI DEMOKRASI :

Potensi pelanggaran UU Pemilu karena perangkapan jabatan sejumlah pejabat Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II dengan anggota kepengurusan yayasan‐yayasan itu, masih dibarengi dengan pelanggaran hukum yang telah dilakukan oleh sejumlah kader Partai Demokrat. Pemilu kali ini ditandai wabah pembelian suara yang semakin terangterangan,
dibandingkan dengan pemilu‐pemilu yang lalu. Padahal, praktek ini jelas‐jelas dilarang oleh UU No. 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD. Pasal 84 melarang semua pelaksana, peserta dan petugas kampanye “menjanjikan atau memberikan uang atau materi
lainnya kepada peserta kampanye”. Sedangkan Pasal 87 melarang pelaksana kampanye “menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung atau tidak langsung agar memilih Partai Politik tertentu; memilih calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota tertentu; atau memilih calon anggota DPD tertentu”. Sanksinya, penjara antara enam sampai 24 bulan serta denda antara Rp. 6.000.000 dan Rp. 24.000.000, menurut Pasal 270 dan 274. Padahal praktek pembelian suara yang dilakukan oleh caleg‐caleg Demokrat di berbagai wilayah, merupakan salah satu faktor kemenangan Partai Demokrat yang begitu fantastis, yakni melonjak nyaris tiga kali lipat dari 7% menjadi 20% lebih. Ambillah sebagai contoh di Sumatera Utara. Waktu kampanye pemilu lalu, Marlan Nainggolan, caleg PDP di Tapanuli Utara (Taput) membagi‐bagi kerbau dan babi ke pemilih, Sihar Sitorus, anak DL Sitorus,
pengusaha pembalakan hutan, yang menjadi caleg PPRN, menyumbang Rp 3 juta ke gereja HKBP dekat bandara Silangit. Sedangkan Fernando Sihombing, caleg Golkar membagi sekarung pupuk kepada setiap pemilih. Namun itu semua belum apa‐apa dibandingkan dengan
“sumbangan” Jhonny Allen Marbun, caleg Demokrat yang terlibat kasus suap Rp 1 milyar untuk proyek Dephub (Tempo, 5 April 2009). Ia berulang kali mengumpulkan petani di Humbang Hasundutan (Humbahas), Taput, dan Samosir, dan membagi‐bagi puluhan ton bibit jagung kepada mereka. Januari lalu, di Dolok Sanggul, ibukota Humbahas, ia menyerahkan 500 baju batik buat para kepala desa, 21 unit komputer untuk sekolah, dan Rp 200 juta untuk perbaikan gereja dan mesjid. Sebelumnya, 4 Januari 2009, dalam upacara di tanah lapang Pangururan, Samosir, yang dihadiri Hadi Utomo, Ketua Umum DPP Partai Demokrat yang ipar SBY, selain membagi‐bagi bibit jagung kepada petani, Jhonny Allen menyerahkan Rp 300 juta untuk perbaikan gereja dan mesjid serta 20 unit komputer untuk sekolah. Berbagai “sumbangan” itu ikut mendorong Jhonny Allen memenangkan tiket Demokrat ke Senayan, untuk kedua kalinya, dengan memperoleh 91.763 suara.

Pelanggaran terhadap Pasal 84 dan 87 UU No. 10/2008, tidak cuma terjadi di Sumatera Utara, tapi juga di basis‐basis kemenangan Partai Demokrat yang lain, yang sempat penulis amati, seperti di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, dan di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Di Poso, Amsal Hasyim, seorang caleg dari Partai Demokrat, menjanjikan
pembagian pesawat televisi dan traktor tangan buat mereka yang mau memilih partai berwarna biru itu. Janji itu, baru direalisasikan akhir November lalu, dan diterima dengan suka cita. Rupanya rakyat di bekas daerah konflik itu tidak menyadari bahwa janji yang diobral kader Partai Demokrat itu, melanggar Pasal 87 UU No. 10/2008 itu.
Walhasil, Amsal Hasyim, kontraktor yang disuruh oleh Piet Inkiriwang, purnawirawan polisi yang Bupati merangkap ketua DPC Partai Demokrat Kabupaten Poso, untuk mengetuai PAC Partai Demokrat Kecamatan Pamona Utara di Tentena, berhasil menjadi anggota DPRD
Kabupaten Poso dari Partai Demokrat. Di Jawa Tengah, terjadi juga banyak kasus pembelian suara (vote buying) atau ‘politik uang’ (money politics), yang melibatkan caleg Partai Demokrat maupun partai lain, namun hanya sedikit yang ditangani oleh
Panwalu dan disidangkan. Yang ditangani oleh Panwaslu misalnya adalah laporan dari YSA Widayana, warga Karang, Plumbon, Mojolaban di Kabupaten Sukoharjo. Ia melaporkan tindakan Bambang yang meminta warga untuk memilih Partai Demokrat (Seputar Indonesia, 11 April 2009).

Lebih menghebohkan lagi adalah kasus pelanggaran Pemilu 2009 yang mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Bantul, hari Jumat, 8 Mei 2009. Kedua terdakwa dalam kasus itu adalah Sri Yuli Waryati, caleg untuk DPRD Bantul dari Dapil 2 dan Siti Shoimah, caleg DPRD DIJ dari daerah pemilihan Kabupaten Bantul. JPU Widagdo M. Petrus menuntut kurungan tiga hingga 12 bulan penjara dengan denda Rp 10 juta, subsider enam bulan kurungan, hanya karena kedua terdakwa menggelar pasar murah di Dusun Mangir Lor, Desa Sendangsari, Pajangan, Bantul, DIY (Radar Jogja, 9 Mei 2009). Ceritanya begini. Pada saat bazar murah digelar, Minggu, 29 Maret, Sri Yuli Waryati membagi kupon pembelian sembako, yang hanya diberikan kepada warga yang telah mengisi formulir dan menjadi anggota Partai Demokrat. Hari Minggu berikut, 5 April, Sri Yuli Waryati memperkenalkan Shoimah kepada masyarakat di Lapangan Mangir Loro, dengan membagi‐bagi uang sebesar Rp 5 ribu seorang dan selembar kaos oblong (idem). Semua itu belum apa‐apa, dibandingkan dengan pembelian suara yang dilakukan oleh putra bungsu SBY, Edhie Baskoro Yudhoyono (EBY), alias Ibas, di kampung halaman ayahnya di Pacitan, Jawa Timur, April lalu. Menurut laporan dua orang saksi, tim kampanye EBY membagi‐bagi amplop berisi uang Rp 10 ribu disertai foto EBY ke calon‐calon pemilih di Desa Clembem, Kecamatan Jambon, Kabupaten Ponorogo, 3 April lalu. Namun setelah kasus ini terungkap di berbagai media lokal dan media online, bukan Bawaslu dan Panwaslu yang bergerak, melainkan Polri, sedangkan para pimpinan media yang bersangkutan mendapatkan teguran keras dari jurubicara kepresidenan, Dino Patti Djalal. Kedua saksi –M. Naziri dan Bambang Krisminarso – serta pimpinan situs
JakartaGlobe.com dan Okezone.com, dan wartawan Harian Bangsa diperiksa oleh polisi, dengan tuduhan pencemaran nama baik EBY juncto pelanggaran pasal 45 ayat 1 UU No. 11/2008 tentang Teknologi Informasi juncto pasal 55 KUHP. Akhirulkalam, Kapolda Jatim Irjen (Pol) Anton Bachrul Alam membantah bahwa EBY telah melakukan money politics, malah sebaliknya menuduh para saksi dan pekerja media melakukan pencemaran nama baik
putra presiden, yang juga berarti, penistaan terhadap presiden (Antara News, 8 April 2009).

Walaupun semua tertuduh akhirnya dibebaskan, EBY pun dibebaskan dari tuduhan pelanggaran Pasal 84 UU No. 10/2008, dan berhasil mengalahkan para caleg lain, termasuk Ramadhan Pohon, pesaingnya yang separtai, mendapatkan tiket ke Senayan. Padahal, seperti
kesaksian salah seorang pimpinan media yang diperkarakan, pembagian amplop berisi uang dan foto EBY itu betul‐betul terjadi. Ada lagi pelanggaran pasal dalam UU No. 10/2008, yang telah menghasilkan banyak suara pemilih buat Partai Demokrat, malah kemenangan yang hampir mutlak di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Dalam Pemilu lalu mantan kombatan yang beralih menjadi anggota Partai Aceh (PA) bebas “menuntun” pemilih yang tua dan butahuruf mencontreng caleg dan logo PA dan Demokrat, terutama di bekas basis GAM, tanpa dihalangi aparat keamanan. Makanya, di sebuah kecamatan di Kabupaten Pidie, Demokrat mendapatkan 100% suara untuk DPR‐RI dan PA 100% suara untuk DPRA dan DPRK. Hasilnya, perolehan suara teratas di Aceh direbut oleh PA, disusul oleh Demokrat, Golkar, dan PKS. Sedangkan partai lokal lain, hanya memperoleh beberapa kursi di DPRA
dan DPRK‐DPRK.

Makanya, perlu dipertanyakan, apakah “bantuan” yang diberikan oleh para kader PA untuk menuntun para pemilih yang tua dan buta huruf, untuk secara khusus mencontreng logo dua partai saja, satu untuk duduk di DPR‐RI dan satunya lagi untuk duduk di DPR Aceh dan DPR
Kabupaten, tidak bertentangan dengan Pasal 156 UU No. 10/2008, ayat 1 dan 2 yang berbunyi sebagai berikut: Ayat (1): Pemilih tunanetra, tunadaksa, dan yang mempunyai
halangan fisik lain saat memberikan suaranya di TPS dapat dibantu oleh orang lain atas permintaan pemilih. Ayat 2: Orang lain yang membantu pemilih dalam memberikan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib merahasiakan pilihan pemilih. Memang, kebanyakan pemilih yang tua dan buta huruf, belum tentu menderita halangan fisik yang digambarkan dalam Pasal 156 ini. Namun inti pasal ini adalah bahwa semua orang harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk memilih calon yang diharapkannya dapat membawakan
aspirasinya. Nah, apakah dengan menggiring secara halus satu bagian yang cukup besar untuk memilih satu partai nasional, yang belum dikenalnya, jiwa pasal ini terpenuhi? Atau justru dilanggar? Melihat banyaknya pelanggaran UU Pemilu yang telah terjadi selama
Pemilu legislatif dan Pilpres lalu, mulai dari besarnya biaya kampanye yang dikelola oleh tim‐tim siluman yang tidak terdaftar personalia maupun anggarannya, pembelian suara lewat pembagian uang dan barang kepada pemilih, termasuk yang dilakukan oleh Edhi Baskoro Yudhoyono, bantuan negara asing seperti melalui IFES (International Foundation for Electoral Systems), ornop AS yang dibantu oleh USAID, yang dilibatkan oleh KPU dalam proses penghitungan suara, serta penggiringan suara sebagian besar pemilih di Aceh, maka legalitas hasil Pemilu yang lalu patut dipertanyakan.

Walaupun partai‐partai lain ikut menjalankan berbagai pelanggaran UU Pemilu itu, namun Partai Demokrat, yang merupakan kendaraan politik incumbent president, tidak menunjukkan teladan dalam mematuhi UU Pemilu. Hanya saja, kenetralan KPU dan Bawaslu yang patut dipertanyakan, serta pembelokan perhatian publik akibat peledakan bom
di dua hotel di kawasan Mega Kuningan, Jakarta, 17 Juli lalu, membuat semua kecurangan dalam pelaksanaan Pemilu belum sempat disorot secara mendalam. KESIMPULAN Uraian dalam buku ini mudah‐mudahan tidak hanya menjawab rahasia di balik skandal Bank Century, melainkan lebih luas lagi, yakni menjawab rahasia di balik kemenangan yang begitu fantastis dari Partai Demokrat, yang naik tiga kali lipat dalam satu periode pemerintahan, dari sekitara 7 % menjadi sekitar 20%. Penggalangan dana yang luar biasa, serta besarnya pembelian suara (vote buying) sesungguhnya memainkan peranan yang besar dalam melonjaknya angka pemilih Partai Demokrat dan calon presidennya, dan bukan hanya kehebatan kharisma SBY dan kesuksesan periode kepresidenannya yang lalu, yang dikemas dengan hebat oleh Fox Indonesia dalam iklan‐iklan televisinya. Resistensi Partai Demokrat terhadap penggunaan hak angket DPR untuk mengungkapkan skandal Bank Century, walaupun akhirnya ikut mendukung prakarsa sebagian anggota DPR, bahkan tanpa malu‐malu
menunjukkan keinginan menjadi Ketua Panitia Khusus hak angket itu, menjadi indikasi betapa besarnya keinginan petinggi‐petinggi partai itu untuk menutupi hal‐hal yang mencurigakan dalam pemberian dana talangan yang jauh melebihi yang sudah disepakati oleh parlemen.

Walaupun belakangan ini ada gerakan dari sejumlah individu Partai Demokrat untuk menangkis tuduhan bahwa mereka menerima dana puluhan, bahkan ratusan milyar rupiah dari Bank Century, toh masih ada tanda tanya, ke mana larinya lima trilyun rupiah yang lenyap ke tangan “fihak ketiga” dalam hanya kurang dari setahun (Juni 2008 – Juni 2009).
Sorotan terhadap beberapa beberapa nasabah terbesar Bank Century, khususnya Hartati Murdaya dan Boedi Sampoerna, sangat wajar, mengingat besarnya bantuan kedua kelompok bisnis yang mereka pimpin bagi kampanye Partai Demokrat dan calon presidennya, yang dimulai oleh Hartati Murdaya menjelang Pemilu 2004 dan semakin meningkat
menjelang Pemilu 2009. Sedangkan dari kelompok Sampoerna, investigasi kami menemukan
dukungan dana sebesar Rp 90 milyar kepada kelompok media Jurnal Nasional yang dekat dengan Partai Demokrat dan SBY sejak 2006, di saat injeksi dana ke kelompok Jurnas mulai digantikan oleh pengusahapengusaha yang dekat dengan keluarga Cikeas, di bawah pimpinan Gatot Mudiantoro Suwondo, yang kebetulan juga Direktur Utama BNI. Kebutuhan akan dana kampanye yang semakin meningkat, yang terdongkrak oleh besarnya biaya “pencitraan” SBY melalui media, serta meluasnya jangkauan “kedermawanan” yayasan‐yayasan yang berafiliasi ke SBY dan Ny. Ani Yudhoyono, membuat keluarga Cikeas semakin
tergantung pada sejumlah pengusaha kelas kakap yang berasal dari era Soeharto, seperti Syamsul Nursalim, Hartati Murdaya, dan kelompok Sampoerna, maupun yang muncul di era SBY, seperti PT Powertel dan Batik Allure. Kebutuhan akan dana kampanye yang begitu besar, dibarengi dengan ambisi sebagian anggota Dinasti Sarwo Edhie Wibowo untuk
memperkaya diri mereka, menimbulkan kerentanan keluarga Cikeas terhadap pengusaha‐pengusaha dan makelar‐makelar kasus yang berusaha menempel ke keluarga itu, seperti Syamsul Nursalim, salah seorang pengemplang dana BLBI, yang sudah berhasil mengelabui tiga presiden berturut‐turut, berkat kedekatan Arthalyta Suryani, yang juga dikenal sebagai “Ayin”, dengan Ani Yudhoyono, dalam kedudukannya sebagai Bendahara Yayasan Mutu Manikam Nusantara yang diketuai oleh isteri mantan Menlu Hasan Wirayuda. Berbicara lebih lanjut tentang yayasan‐yayasan yang dibina oleh SBY dan Ny. Ani Yudhoyono, kita bisa lihat bahwa kepengurusan yayasanyayasan itu bukan orang‐orang yang punya latar belakang dalam kedermawanan (filantropi), melainkan terdiri dari sejumlah menteri,
mantan menteri, purnawirawan perwira tinggi yang kebanyakan seangkatan dengan SBY, sejumlah pengusaha, dan anggota keluarga besar SBY‐Ani Yudhoyono yang juga sudah terjun ke bidang usaha, yakni Hartanto Edhie Wibowo dan Edhie Baskoro Yudhoyono. Hartanto, adik bungsu Ny. Ani Yudhoyono, telah terjun ke bisnis serat optik di PT Powertel, bersama adik Menko Perekonomian M. Hatta Rajasa, dan pada awalnya difasilitasi proyek‐proyeknya oleh Hatta Rajasa, selagi yang bersangkutan masih menjabat sebagai Menteri Perhubungan. Sedangkan Edhie Baskoro Yudhoyono, anak bungsu SBY dan Ny. Ani Yudhoyono, baru mulai terjun dalam bisnis kue kering, dibantu oleh seorang pengusaha swasta yang sudah berlangganan di bidang itu. Dengan demikian, mantan jenderal yang mulai 20 Oktober lalu mengendalikan kendali republik ini, perlu bekerja keras untuk menciptakan pemerintahan bersih di negeri kita. Guna mengakhiri tradisi politik buruk yang dirintis mendiang Jenderal Soeharto, SBY perlu bersikap lebih tegas terhadap keluarga besarnya sendiri, agar tidak ada anak, ipar, kerabat atau sahabat yang mengambil jalan pintas
mengembangkan bisnis mereka dengan mendekati bankir‐bankir pemerintah serta birokrat‐birokrat papan atas, untuk mendapatkan orderorder kelas kakap. Tambahan lagi, SBY juga perlu mendorong kerabat dan sahabatnya untuk menolak pemberian kemudahan dalam penyediaan jasa jalan, listrik, dan bahan bakar bersubsidi, buat pengembangan pabrik yang baru berdiri kemarin sore.

Sikap tegas terhadap keluarga dan sahabat merupakan dasar moral untuk mengambil sikap tegas terhadap semua pejabat yang melakukan komersialisasi jabatan, sebagaimana teladan Presiden Korea Selatan, Kim Young San, yang menjebloskan kedua pendahulunya – Chun Doo‐Hwan dan Roh Tae‐Woo – ke penjara, karena korupsi dan pembantaian aktivis
pro‐demokrasi. Walaupun kemudian kedua jenderal itu diberinya grasi dari vonis hukuman mati dan hukuman penjara 22,5 tahun, Presiden Korsel itu juga menyerahkan anaknya, Kim Hyon Chul, untuk diadili, karena sang anak menerima sogokan dari maskapai Hanbo Steel, konon untuk menggalang dana bagi kampanye ayahnya (Alkostar 2008: 176‐80;
Washington Post, 25 Januari 2007; New York Times, 18 Mei 1997).

Selanjutnya, untuk mengakhiri tradisi yang dirintis oleh Soeharto, sebaiknya yayasan‐yayasan yang menggunakan nama SBY maupun nama kediaman pribadinya, berhenti memanfaatkan figur‐figur pemerintah dalam struktur organisasinya. Rakyat yang cerdas juga tidak akan menuntut Kepala Negara memberi makan ribuan orang miskin di Istana Negara atau kediaman pribadinya, sebab Presiden bukanlah Raja yang kaya raya, dan memberi makan fakir miskin bukan tugas Presiden dan keluarganya, melainkan merupakan tugas sejumlah lembaga resmi, sesuai dengan ketentuan Pasal 34 Undang‐Undang Dasar 1945.
Yayasan‐yayasan yang ada kaitan dengan SBY, Ny. Ani Yudhoyono, serta kerabat dan sahabatnya, sebaiknya diaudit oleh auditor publik yang independen, dan hasilnya dilaporkan ke parlemen, serta terbuka bagi media dan internet. Bukan diaudit oleh auditor langganan para bankir yang juga duduk dalam pengurus yayasan‐yayasan itu.
Tujuan semua langkah itu supaya yayasan‐yayasan sosial yang dekat dengan oknum‐oknum penguasa jangan lagi menjadi pembuka jalan bagi korporasi‐korporasi raksasa untuk mendapat perhatian khusus dari pemerintah, seperti tradisi Orde Baru (lihat Radjab 1999: 47‐8; Aditjondro 2003; Aditjondro 2006; Ismawan 2007; Zen & Kristianto 2007).

Dibarengi pembenahan ke dalam lingkaran kerabat dan sahabat SBY ini, pemerintahan mendatang, didukung oleh parlemen dan lembaga peradilan, selayaknya menjalankan transparansi dalam hal melaporkan kekayaan dan jaringan bisnis mereka kepada rakyat Indonesia. Tujuannya supaya rakyat dapat mengontrol pejabat yang mereka pilih dan
percayakan nasib bangsa ini lima tahun ke depan. Jelasnya, transparansi kekayaan pejabat bertujuan supaya semua keputusan ekonomi dan politik yang diambil, betul‐betul demi kemaslahatan rakyat banyak, terutama mereka yang paling dipinggirkan. Bukan demi ekspansi perusahaan milik kerabat dan sahabat, dengan dalih, menciptakan lapangan kerja.

REFERENSI :

Aditjondro, George Junus (2003). Dari Soeharto ke Habibie: Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari:
Kedua Puncak Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Rezim Orde Baru. Jakarta: MIK (Masyarakat Indonesia untuk Kemanusiaan) & Pijar Indonesia.‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐2006).
Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa. Yogyakarta: LKiS. ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐(2007). ‘Dialektika antara Agency dan Struktur dalam Penelaahan Korupsi di Indonesia: Membangun Gerakan Anti Korupsi yang Lebih Merakyat.” Renai, No. 2, Salatiga: PERCIK, hal. 8‐23.
‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ (2009). “Menyambut Era SBY Kedua Yang (Mudah‐mudahan)
Lebih Bersih dari Era SBY Pertama,” Scientiae Polites, Vol. 28, hal. 1‐10.
Alkostar, Artidjo (2008). Korupsi Politik di Negara Modern. Yogyakarta: FH
UII Press.
Angkasa Pura II (2007). Laporan Tahunan 2007/ 2007 Annual Report: Together
We Build A Better Future. Jakarta: PT Angkasa Pura II.
Ardi, Yosef & Rahmon Amri (penyunting) (2008). JSX Watch 2008‐2009.
Jakarta: Pustaka Bisnis Indonesia.
Bank Bukopin (2002). Laporan Tahunan 2002. Jakarta: Bank Bukopin.
‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ (2006). Bank Bukopin Tbk Company Report : December 2006 As
of 28 December 2006. Jakarta: Bank Bukopin.
Ismawan, Indra (2007). Harta dan Yayasan Soeharto: Kontroversi tentang
Kekayaan dan Dugaan Korupsi Soeharto. Jakarta: PT Buku Kita.
Masayok (2008), Husein Al Habsy Minta KPK Selidiki Majelis Dzikir SBY,
posted on the internet on August 25.
McBeth, John (2007). “All the President’s Men.” The Straits Times News. 2
Agustus.
Nikmah, Siti Khoirun & Valentina Sri Wijiyati (2008). My Dear Train, My
Poor Train: Railway Efficiency Project (Proyek Efisiensi Perkeretapian). Working
Paper No. 1. Jakarta: INFID (International NGO Forum on Indonesian
Development).
PDBI (1997). Conglomeration Indonesia. Vol. 3. Jakarta: Pusat Data Business
Indonesia (PDBI).
Radjab, Suryadi A. (1999). Praktik Culas Bisnis Gaya Orde Baru. Jakarta:
Grasindo.
Rusly, Haris (2009). “Ini Boedi, Itu Century.” Terawang, No. 1, November,
hal. 46‐48.
Zen, Patra M. & Agustinus Edy Kristianto (2007). Menyusup Dalam Gelap:
Wajah Hitam Kejayaan Salim Group. Jakarta: Yayasan LBH Indonesia.

udutna......